Jumat, 14 Oktober 2011

PERJALANAN PRIA PEMABUK DENGAN PEMUDA SALAFI (TRUE STORY)

Di sebuah kota di Saudi, seorang wanita tinggal dan hidup bersama suami dan anak-anaknya. Rumah mereka berdampingan betul dengan sebuah masjid. Namun disayangkan sekali, Allah mengujinya dengan seorang suami yang pemabuk. Tidak berlalu satu atau dua hari, kecuali sang suami pasti memukulnya dan anak-anaknya, bahkan mengusirnya hingga ke jalan. Hampir semua warga di lingkungan tempat tinggal mereka sebenarnya sangat mengasihaninya dan anak-anaknya. Apalagi jika mereka melewati rumahnya. Hampir setiap hari mereka masuk ke masjid untuk menunaikan shalat, namun setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing tanpa memberikan bantuan apapun, meski dengan sebuah kalimat penghibur hatinya. Betapa seringnya mereka melihat dan menyaksikan wanita malang itu bersama anak-anak kecilnya duduk di samping pintu rumahnya untuk menunggu sang suami yang pemabuk itu membukakan pintu dan menyuruhnya masuk, setelah sebelumnya ia mengusirnya bersama anak-anak. Namun itu hanya sebuah penantian yang sia-sia. Akhirnya, jika wanita malang itu memastikan bahwa suaminya telah tidur, ia akan menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk meloncat ke dalam dan membuka pintu rumah itu dari dalam. Ia akan segera masuk ke dalam rumahnya lalu cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan menguncinya untuk menunggu hingga suaminya sadar dari mabuknya. Dan di situ, wanita malang itupun mulailah mengerjakan shalat dan menangis di hadapan Allah agar memberikan hidayah dan ampunan bagi suaminya. Tidak seorang pun jamaah masjid itu -baik imam maupun muadzinnya- yang mampu berbicara kepada suami pemabuk itu dan memberinya nasihat, walau demi sang wanita dan anak-anaknya yang telah tersiksa dengan itu semua. Belum lagi bahwa mereka pun tahu pria pemabuk itu selain tidak takut kepada Allah dan suka mengganggu, ia juga mempunyai banyak masalah dengan tetangga-tetangga di lingkungan tinggalnya. Hatinya sangat keras. Dan wanita malang itu tidak putus-putusnya mendoakan suaminya yang pemabuk itu di sepertiga akhir malam. Ia memohon kepada Allah dengan Nama-Nama-Nya yang mulia agar menerangi hati suaminya dengan hidayah iman. Hari-harinya ia gunakan untuk mendoakan yang terbaik bagi suaminya, sementara ia dan anak-anaknya terus merasakan siksaan itu dan tidak seorang pun yang mengasihani mereka atas semua musibah itu, selain Allah. Tidak ada saudara, ayah dan ibu yang mengayomi. Semuanya berlepas diri darinya. Semuanya tidak pernah merasakan kehadiran dan persoalannya. Ia seakan menjadi sosok yang terbuang dari tetangga dan keluarganya, akibat perilaku sang suami. Pada suatu hari, ketika wanita malang itu mengunjungi salah seorang kawannya yang tinggal di lingkungan lain; kepada kawan yang mau membuka hatinya untuk mendengarkan keluh kesahnya itu ia menceritakan semua penderitaannya. Tentang apa yang dilakukan oleh suaminya kepada dirinya dan anak-anaknya ketika ia sedang dipengaruhi oleh minuman keras. Kawan itu sungguh bersimpati dengan apa yang dialaminya. “Tenanglah, aku akan menyampaikan kepada suamiku agar menemui dan menasihatinya,” ujarnya. Dan suaminya adalah pemuda shalih yang bijak, menyenangi kebaikan untuk orang lain. Ia juga menghafal Al Qur’an dan senang beramar ma’ruf nahi munkar. Wanita yang malang itupun setuju dengan syarat kawannya itu tidak memberitahu bahwa dialah yang memintanya melakukan hal tersebut, karena jangan sampai suaminya yang pemabuk itu kemudian marah, memukulnya lalu mengusirnya keluar dari rumah ke jalanan untuk kesekian kalinya jika mengetahui itu semua. Sang kawan itu sepakat bahwa rencana ini adalah rahasia antara mereka berdua saja. Usai shalat isya, suami sang kawan itu pun langsung pergi menemui suami wanita malang itu. Ia mengetuk pintu rumahnya dan tidak lama kemudian pria pemabuk itu keluar dengan langkah gontai karena mabuk. Ia membuka pintu dan ternyata disana ia menemukan seorang pria yang sangat bersih, jenggotnya panjang dan hitam, wajahnya memancarkan cahaya, dan kelihatannya usianya belum sampai 25 tahun. Sementara pria pemabuk yang usianya telah mencapai 40 tahun itu di wajahnya hanya nampak tanda-tanda kemarahan dan jauh dari Allah. Ia memandang sang pengetuk pintu rumahnya dan bertanya: “Siapa kamu? Dan apa yang engkau inginkan?” “Saya fulan bin fulan. Saya mencintai anda karena Allah dan saya sengaja datang untuk mengunjungi anda…,” jawab pria muda itu dengan santun. Namun, belum lagi ia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba pria mabuk itu meludahi wajahnya dan mengeluarkan cacian serta makiannya. “Semoga Allah melaknatmu, wahai anjing!! Ini bukan waktunya untuk berkunjung! Pergi sana!!” umpatnya penuh kemarahan. Dari mulut pemabuk itu menyeruak aroma minuman keras,  hingga seakan-akan seluruh lingkungan itu dipenuhi dengan aromanya yang menjijikkan. Pemuda shalih itu kemudian mengusap ludah yang menempel di wajahnya dan berkata: “Jazakallah khairan (Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan). Mungkin aku memang salah karena datang pada waktu yang tidak tepat. Tapi, saya akan datang lagi untuk mengunjungi Anda di waktu lain, insya Allah.” “Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi! Jika engkau datang lagi, aku akan mematahkan lehermu!!” jawab pemabuk itu sambil membanting pintunya. Sang pemuda shalih itupun kembali ke rumahnya sembari berkata: “Alhamdulillah, Allah telah memberikan ludah ini di jalan-Nya. Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kesempatan mendapatkan cacian dan penghinaan ini dijalan agamaku…” Di dalam hatinya, ia telah bertekad untuk menyelamatkan wanita itu beserta anak-anaknya dari penderitaan mereka. Ia merasa bahwa seluruh dunia ini akan membuka pintu untuknya jika ia dapat menyelamatkan keluarga itu dari kehancuran. Ia pun mulai mendoakan si pemabuk itu di saat-saat doa mudah dikabulkan. Ia memohon kepada Allah agar menolongnya untuk menyelamatkan  keluarga itu dari penderitaan abadinya. Kesedihan memenuhi rongga hatinya, dan kini yang menjadi obsesinya hanyalah bagaimana melihat si pemabuk itu termasuk orang-orang yang mendapatkan hidayah. Ia kemudian berusaha mengunjungi pria pemabuk itu beberapa kali, namun ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali seperti yang sebelumnya ia telah dapatkan . Sampai akhirnya, pada suatu waktu, ia bertekad tidak akan pergi dari depan rumah pemabuk itu kecuali setelah berbicara dan menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. Ia pun mengetuk pintu rumahnya dan pria pemabuk itu pun keluar dalam keadaan mabuk seperti biasa. “Bukankah aku telah mengusirmu dari sini berkali-kali?! Kenapa engkau keras kepala dan selalu datang lagi padahal aku sudah mengusirmu?!!!” teriaknya. “Benar sekali. Tapi aku mencintaimu karena Allah, dan aku ingin duduk denganmu meski beberapa menit saja, Sebab Nabi shalallahu alaihi wasallam pernah mengatakan: ‘Barangsiapa mengunjungi saudaranya karena Allah, maka akan menyeru penyeru di langit; ‘Engkau telah melakukan kebaikan, dan langkahmu baik, maka engkau telah menempati surga sebagai tempat(mu).’ (HR: At Tirmidzi dan Ibnu Majah). Si pemabuk itu mulai malu di hadapan desakan pemuda itu yang terus menerus meski harus mendapatkan semua perlakuannya. “Tapi sekarang ini aku sedang minum, sementara engkau, dari wajahmu kelihatannya engkau adalah orang shalih. Aku tidak mungkin membiarkanmu melihat botol-botol minumanku, karena itu tidak layak untukmu…” ujarnya mulai melembut. “Tidak apa-apa! Biarkan aku masuk ke tempat minummu dan melihat semua botol-botol minumanmu. Biarkan kita mengobrol sambil engkau meminum minumanmu, sebab aku tidak datang kesini untuk melarangmu minum. Aku hanya datang untuk mengunjungimu saja…” kata pemuda itu. “Kalau demikian, silahkan masuk…” ujar sipemabuk itu. Maka untuk pertama kalinya, pemuda itu masuk ke dalam rumah itu setelah berkali-kali semua perlakuan buruk dan pengusiran. Dan ketika itu, ia merasa sangat yakin jika Allah menghendaki sesuatu yang baik untuk pria itu. Pemabuk itu mengajaknya masuk ke kamar tempatnya mengonsumsi minuman keras. Kepada pemabuk itu, pemuda tadi mulai menyampaikan keagungan Allah, tentang apa yang disiapkan Allah untuk kaum beriman di surga dan untuk kaum kafir di Neraka dan tentang taubat. Bahwa Allah sangat mencintai hamba-Nya yang bertaubat jika memohon hidayah pada-Nya. Allah sangat senang dengan taubat hamba-Nya. Jika seorang hamba-Nya yang pendosa bertaubat, maka Allah akan menjawab pintanya tiga kali dan tidak hanya sekali. Ia juga menyinggung pahala saling mengunjungi karena Allah. Pemuda itu melihat air muka sang pemabuk menunjukkan tanda-tanda kebaikan. Pemabuk itu diam mendengarkan apa yang ia sampaikan dengan tenang. Dan pemuda itu tidak sekalipun menyinggung soal khamr (minuman keras) dan keharamannya, meskipun ia tahu bahwa meminumnya adalah sebuah dosa besar. Sampai ia pulang, tak satu kalimat pun tentang khamr yang diucapkannya. Pemuda itu pulang setelah meminta kepada sang pemabuk itu untuk mengizinkannya untuk berkunjung dan berkunjung lagi. dan ia setuju. Pemuda itu pun pulang. Beberapa hari setelah itu, sang pemuda kembali menemui sang pemabuk yang rupanya sedang mabuk. namun baru saja ia mengetukkan pintu rumah itu, segera saja sang pemabuk itu menyambut dan mempersilahkannya masuk ke tempat ia biasa meminum minuman kerasnya. Ia kemudian mulai berbicara tentang surga dan apa yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang bertaubat dan menyesali dosanya. Ia memperhatikan bahwa si pemabuk ini sudah mulai berhenti meminum minumannya jika ia sedang berbicara. Pemuda itu merasa semakin dekat dengannya dan perlahan-lahan ia mulai menghancurkan gelas demi gelas minuman keras itu di dalam hatinya perlahan-lahan. Dan ketidak berlanjutannya meminum adalah pertanda bahwa ia mulai memahami apa yang diucapkannya. Pemud aitu kemudian mengeluarkan sebuah botol parfum yang sangat mahal dari kantongnya. Ia memberikannya sebagai hadiah kepada si pemabuk itu dan segera keluar dari rumah tersebut. Hari itu, ia sangat bahagia dengan apa yang berhasil dilakukannya dalam kunjungan kali itu. Ada perkembangan yang berarti… Beberapa hari kemudian, ia kembali mendatangi pria pemabuk itu dan ia menemukannya telah mengalami perubahan yang luar biasa. Meskipun ia masih dalam keadaan mabuk berat, namun keadaannya telah jauh berbeda. Kali ini, setelah pemuda itu berbicara tentang Surga dan Neraka, pemabuk itu menangis seperti anak-anak sambil berujar: “Allah pasti tidak akan menerima taubatku! Allah pasti tidak akan mengampuniku! Aku ini membenci ulama, membenci orang-orang shalih, bahkan membenci semua orang! Bahkan membenci diriku sendiri! Aku ini binatang pemabuk! Allah tidak akan mau menerimaku, tidak akan mau menerima taubatku meskipun aku bertaubat. Kalau Allah mencintaiku, Ia tidak akan membiarkanku meminum minuman keras ini. Ia tidak akan membuatku dalam kondisi ini, kedurjanaan yang kujalani selama bertahun-tahun lalu…” Sambil memeluknya, pemuda shalih itu berkata padanya: “Allah akan menerima taubatmu. Dan orang yang bertaubat itu seperti orang yang tidak mempunyai dosa. Pintu taubat itu akan selalu terbuka, tidak ada seorang pun yang dapat menghalangimu dengan Allah. Kebahagiaan itu sepenuhnya adalah dalam agama ini. Apa yang akan terjadi di hari esok pasti jauh lebih indah jika engkau memohon hidayah pada Allah dengan hati yang sungguh-sungguh. Tidak ada yang harus engkau lakukan kecuali memohon hidayah pada Allah dengan hati yang ikhlas. Allah pasti akan menerimamu…” Ia kemudian mengatakan bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Makkah dengan beberapa orang kawannya. Ia menawarkan kepada sang pemabuk itu untuk ikut serta. Namun si pemabuk itu berkata: “Tapi aku ini pemabuk. Kawan-kawanmu pasti tidak mau aku menyertai mereka dalam perjalanan ini…” “Jangan berpikir begitu! Mereka mencintaimu seperti aku juga demikian. Tidak akan menjadi masalah bagi mereka jika engkau menyertai mereka dengan kondisimu seperti ini. Kita akan pergi ke Makkah untuk menunaikan umrah. Begitu selesai, kita akan segera kembali ke kota ini. kami akan sangat berbahagia dengan keberadaanmu di sepanjang perjalanan kami…” ujar pemuda shalih itu. Sang pemabuk itu berkata, “Apakah kalian akan mengizinkan aku untuk membawa botol-botol minumanku bersama kalian, karena aku tidak bisa berpisah darinya sekejap pun?” Dengan sangat gembira, pemuda shalih itu menjawab: “Bawalah bersamamu jika memang ia harus dibawa!” Pandangan pemuda shalih itu sangat jauh ke depan, meskipun resikonya sangat besar jika ia membawa botol-botol minuman itu di dalam mobilnya. Apalagi dengan membawa serta seorang pemabuk dan dalam kondisi mabuk pula. Sebab perjalanan ke Makkah dipenuhi pos-pos  pemeriksaan polisi. Namun ia memilih untuk mengambil resiko itu demi menyelamatkan wanita malang itu bersama anak-anaknya. Karena siapa yang berusaha untuk mewujudkan suatu tujuan yang agung, semua masalah menjadi kecil dalam pandangannya. “Bangunlah sekarang lalu mandi dan berwudhulah, kemudian kenakan pakaian ihrammu…,” ujar pemuda itu pada sang pemabuk. Pemuda itu keluar menuju mobilnya untuk mengambilkan pakaian ihram khusus miliknya untuk pria pemabuk itu. Biarlah ia nanti membeli yang lain lagi untuk ia kenakan. Setelah pria pemabuk itu mulai bersiap-siap, ia menemui istrinya dan berkata: “Aku akan pergi ke Makkah untuk menunaikan umrah bersama beberapa orang Syaikh…” Binar-binar kebahagiaan segera memancar di wajah wanita itu ketika mendengarkan ucapan itu. Ia segera menyiapkan tas suaminya. Pria pemabuk itu segera mandi dan mengenakan pakaian ihramnya, meski ia masih dalam kondisi mabuknya. Pemuda shalih itu menyuruhnya bergegas, jangan sampai kemudian ia berubah pikiran lagi untuk tidak ikut serta bersama mereka untuk bersama-sama menunaikan umrah. Ia benar-benar tidak percaya telah mendapatkan kesempatan besar untuk hanya berdua dengan sang pemabuk itu dan menjauhkannya dari kondisi yang mengingatkannya untuk mabuk dan juga dari kawan-kawan jahatnya. Kalau saja ia sadar, boleh jadi ia tidak akan mau ikut atau setan akan berusaha menahannya dari pintu lain sehingga tidak mau ikut serta menunaikan umrah bersamanya. Setelah menghubungi kawan-kawannya, pemuda itu segera pergi menjemput mereka untuk bersama-sama pergi menunaikan umrah. Tidak lama kemudian, mobil itupun meluncur menuju Makkah. Pemuda shalih itu yang menyetirnya dan disampingnya duduk pria pemabuk itu. Sementara di kursi belakang duduklah dua orang kawannya yang ikut serta bersama mereka. Sepanjang perjalanan ia terus membaca surah-surah pendek dan beberapa hadits Nabi dari kitab Shahih Al Bukhari, dan semuanya membahas tentang taubat. Sementara pria pemabuk itu sama sekali tidak tahu bagaimana membaca surah Al Fatihah. Ketika giliran membaca itu sampai padanya, ketiga kawan perjalanannya itu harus membacakan surah itu tiga kali untuk membenarkan bacaannya yang salah tanpa harus mengatakan: “Kamu salah!” atau “Tidak masuk akal ada orang yang salah dalam membaca surah Al Fatihah.” Demikianlah hingga akhirnya mereka selesai membaca surah-surah pendek beberapa kali dan juga membaca Hadits-hadits tentang keutamaan amal shalih, dan pria pemabuk itu mendengarkan dengan tenangnya… Dan sebelum tiba di Makkah, ketiga sahabat itu sepakat bahwa mereka tidak akan masuk ke kota Makkah kecuali jika kawan pemabuk itu telah benar-benar sadar dari mabuknya. Mereka memutuskan untuk bermalam di salah satu tempat peristirahatan dengan alasan kelelahan dan ingin tidur dulu hingga Shubuh menjelang, untuk kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Sang pemabuk itu mendesak mereka bahwa ia bisa menyetir mobil itu jika mereka ingin tidur di dalam mobil itu sepanjang perjalanan, karena ia tidak bisa tidur sama sekali. Namun mereka mengatakan: “Terima kasih, Jazakallah khairan dan semoga Allah memberkahimu. Tapi kami ingin menikmati perjalanan ini bersamamu. Biarlah  kita menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama.” Ia pun terpaksa menyetujuinya. Mereka akhirnya masuk ke salah satu tempat peristirahatan di pinggir jalan. Mereka menyiapkan sebuah alas tidur untuk kawan pemabuk mereka dan mereka sengaja mengaturnya tidur di antara mereka agar ia dapat melihat apa yang nanti mereka kerjakan. Mereka kemudian membahas etika tidur dan bagaimana mereka tidur sesuai dengan sunnah sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam tidur. Kawan pemabuk itu memperhatikan dan mengikuti apa yang mereka lakukan, hingga beberapa menit kemudian ia pun tertidur dengan lelapnya. Sebelum tiba waktu Shubuh, ketiga sahabat itu bangun dan mengerjakan shalat malam di sepertiga akhir malam. Mereka mendoakan kawan pemabuk mereka yang terlelap dalam tidurnya akibat pengaruh alkohol. Mereka sujud dan berdoa di hadapan Allah untuk memberikannya petunjuk dan mengembalikannya ke dalam agama-Nya dengan sebaik-baiknya. Ketika ia masih terlelap dalam tidurnya, tiba-tiba ia terbangun dan melihat ketiga pemuda itu sedang mengerjakan shalat malam. Mereka menangis dan meratap di hadapan Allah. Tiba-tiba menyelusup  sebuah perasaan takut dalam dirinya. Ia mulai sadar dari mabuknya sedikit demi sedikit. Ia terus mengawasi apa yang dilakukan oleh pemuda itu di waktu malam. Sementara ia dibalik selimutnya menyembunyikan tubuhnya yang rapuh, kegelisahannya yang berat serta rasa malunya yang begitu besar kepada para pemuda itu dan juga kepada Allah. Ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri: “Bagaimana mungkin aku pergi bersama orang-orang shalih itu, mereka bangun mengerjakan shalat malam, menangis karena takut kepada Allah, mereka tidur dan makan seperti Sunnah Nabi shalallahu alaihi wasallam, sementara aku dalam kondisi mabuk!” Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalanya hingga ia mulai tidak bisa melanjutkan tidurnya kembali. Dan tidak lama kemudian muadzin mengumandangkan adzan Shubuh. Ketiga pemuda itu kembali ke pembaringan mereka seakan mereka tidak pernah bangun sebelumnya. Tidak lama kemudian, mereka pun membangunkan kawan pemabuk itu untuk shalat Shubuh. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi ia mengawasi apa yang mereka lakukan dari balik selimutnya. Ia pun bangun untuk berwudhu, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Subuh bersama ketiga pemuda itu. Kali ini sudah jauh lebih seimbang dari sebelumnya. Ia mengerjakan shalat Subuh bersama mereka, lalu kembali ke tempat istirahatnya bersama ketiga kawannya yang ia cintai karena sifat-sifat mulia dan keteguhan mereka berpegang pada agama dan memperlakukannya dengan hormat sebagaimana layaknya manusia. Dan ia belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya… Setelah itu, mereka menyiapkan sarapan pagi dan berupaya berkhidmat melayani kawan pemabuk itu seakan dialah pemimpinnya dan mereka adalah para pembantu yang melayani dan memuliakannya. Dari waktu ke waktu, mereka berbicara dengan kalimat-kalimat yang indah, sehingga ia merasa sangat bahagia di tengah mereka. Ia mulai membandingkan keadaannya  diantara para tetangganya yang mengatakan sangat membencinya. Ia mendengarkan obrolan mereka tentang adab-adab makan. Mereka kemudian makan apa yang ada hingga tiba waktu syuruq (terbitnya matahari).  Mereka lalu berdiri mengerjakan shalat dhuha, lalu kembali tidur hingga kurang lebih jam 10 pagi agar dapat meyakinkan bahwa kawan mereka yang satu itu benar-benar telah sadar sepenuhnya dari mabuknya dan kembali normal seperti sedia kala. Setelah ia sadar kembali, barulah kawan pemabuk itu merasa malu dan tidak enak hati. Ia kemudian menarik kawan pemudanya dan berbisik: “Bagaimana mungkin engkau mengajakku dalam keadaan mabuk bersama para ‘Syaikh’ yang shalih itu? Mudah-mudahan Allah memaafkanmu! Lagipula aku menemukan botol minumanku ada di mobil. Siapa pula yang membawanya?” Pemuda shalih itu menjawab: “Akulah yang membawanya setelah aku melihatmu bersikeras untuk membawanya dan engkau tidak akan ikut serta bersama kami jika engkau tidak membawanya!” “Apakah kawan-kawanmu itu melihatnya?” tanya kawan pemabuk itu. “Tidak. Mereka tidak melihatnya karena ia berada dalam sebuah kantong hitam,” jawab si pemuda. “Alhamdulillah, syukurlah jika mereka tidak melihatnya…,” ujarnya. Setelah itu, mereka pun bergerak menuju Makkah. Kawan pemabuk itu bersama mereka. Dan apa yang mereka lakukan terhadapnya pada awal perjalanannya itu pula yang mereka lakukan terhadapnya dalam perjalanan lanjutan itu. Mereka membaca surah-surah pendek dan hadits-hadits motivasi sepanjang perjalanan. Mereka memperhatikan bahwa kawan pemabuk itu sudah mulai membaca surah-surah pendek itu lebih baik dari sebelumnya. Banyak yang mereka baca sepanjang perjalanan itu hingga mereka tiba di Makkah dan memasuki Masjidil Haram. Dan mereka tetap memuliakan kawan pemabuk mereka itu dengan sebaik-baiknya… Mereka melakukan thawaf dan sa’i, kemudian meminum air zamzam. Lalu kawan pemabuk itu meminta izin untuk pergi ke Multazam (dinding yang terletak di Ka’bah antara Hajar Aswad dengan Pintu Ka’bah). Mereka pun mengizinkannya, dan ia kemudian pergi kesana bersama pemuda shalih itu… Ia berpegang di multazam dan mulai menangis dengan suara seakan tiang-tiang Ka’bah itu bergetar oleh tangisan dan ratapan pria pemabuk itu. Air matanya menetes membasahi pelataran Ka’bah. Pemuda shalih itu mendengar tangisannya, dan ia pun menangis seprti itu. Ia mendengarkan doanya, lalu mengaminkannya dari belakang… Sebuah pemandangan yang menggetarkan hati jika engkau melihatnya. Pria mabuk itu berdoa kepada Allah agar berkenan menerima taubatnya. Ia berjanji pada Allah untuk tidak akan kembali pada minuman keras lagi dan ia memohon agar Allah mau menolongnya untuk itu. Tidak ada doa yang ia ketahui selain: “Ya Tuhanku, kasihinilah aku. Ya Tuhanku, aku sudah terlalu banyak melakukan dosa, maka kasihinilah aku, karena Engkau adalah Penguasa langit dan bumi. Jika engkau menolakku dari pintu Rahmat-Mu, maka kepada siapa aku harus kembali. Jika Engkau tidak menerima taubatku, maka siapa lagi selain-Mu yang akan mengasihiku. Duhai Tuhanku, sungguh pintu-pintu rahmat-Mu terbuka luas dan aku memohon pada-Mu jangan Kau menolakku sia-sia…” Doanya benar-benar menggetarkan jiwa sampai-sampai membuat orang-orang di dekatnya ikut pula menangis. Tangisannya sungguh membuat terenyuh hati, seakan engkau merasa ruhnya telah lepas terbang menuju langit ketika ia mulai berdoa pada Tuhannya. Ia menangis dan memohon pertolongan hingga kawan pemudanya benar-benar merasakan keprihatinan yang sangat dalam. Ia terus berada dalam kondisi seperti ini  selama satu jam. Ia tak berhenti menangis, meratap dan berdoa kepada Allah, sementara kawan pemudanya ikut menangis dibelakangnya. Sebuah pemandangan yang luar biasa… Seorang pria berusia lebih 40 tahun, bergantung di kain kiswah Ka’bah. Dan yang paling membuat hati tersentuh untuk menangis adalah doa yang diucapkannya: “Duhai Tuhanku, aku selalu memukul dan mengusir istriku jika aku larut dalam mabukku, ampunilah aku ya Allah atas semua yang kulakukan terhadapnya… Ya Tuhanku, sesungguhnya kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu, dan aku mohon kepada-Mu, Tuhanku agar Engkau meliputiku dengan rahmat-Mu… Tuhanku, aku berdiri di hadapan-Mu, maka jangan Engkau membiarkanku dengan tangan kosong… Tuhanku, jika Engkau tidak mengasihiku, maka siapa lagi selain-Mu yang akan mengasihiku… Ya Tuhanku, sungguh aku bertaubat, maka terimalah taubatku. Katakanlah padaku: ‘Aku datang, Aku datang, wahai hamba-Ku!’ Ya Tuhanku, kumohon jangan palingkan wajh-Mu dariku… Wahai Tuhanku, lihatlah kepadaku, karena aku telah memenuhi bumi ini dengan airmata yang ada padaku… Wahai Tuhanku, sungguh aku berdiri di hadapan-Mu, aku kini bertamu di rumah-Mu yang dimuliakan, maka jangan perlakukan aku seperti manusia memperlakukankukarena manusia itu jika aku meminta pada mereka, mereka menolakku bahkan meremehkanku… Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, terangilah mata hatiku. Ya Allah, buatlah cahaya-Mu itu meliputiku, buatlah aku benci kepada minuman keras sepanjang hidupku… Tuhanku, janganlah Engkau marah kepadaku dan janganlah Engkau murka padaku betapa seringnya aku membuat-Mu marah dengan dosa-dosaku yang tak terhitung. Aku durhaka padamu dan Engkau melihat apa yang kuperbuat…” Disaat seperti itu, pemuda shalih itu memintanya agar mendoakannya pula kepada Allah. Tapi permintaan itu justru membuatnya semakin menangis, ia mengatakan: “Ya Tuhanku, apakah dari orang seperti aku diminta untuk mendoakan orang lain?!! Ya Tuhanku, aku sungguh telah durhaka pada-Mu selama 25 tahun lamanya. Namun Engkau tak meninggalkanku dan membiarkanku tenggelam dalam dosa… Tuhanku, aku adalah orang fasik dan berdosa, aku berdiri di pintu-Mu, maka jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang shalih… Demikianlah ia terus meratap dan menangis. Engkau tak akan mendengarkan apa-apa selain suara yang diliputi kesedihan dan ratapan. Muadzin mengumandangkan adzan Ashar. Mereka pun duduk untuk mengerjakan shalat, sementara sang pemabuk yang telah bertaubat itu masih saja bergantung di kain penutup Ka’bah, menangis hingga kawannya benar-benar kasihan padanya, lalu kemudian memapahnya untuk duduk di shaf orang-orang yang shalat agar ia dapat beristirahat dari tangisannya… Pemuda itu memapahnya dan memelukknya seakan ia adalah ibu atau ayahnya. Ia pun mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Ashar yang semuanya diliputi tangisan dengan suara sesenggukan yang menyayat hati dan menggetrakan hati orang-orang di sekelilingnya. Sungguh, doa sang istri di tengah malam telah dikabulkan oleh Allah. Doa sang pemuda shalih itu juga akhirnya berbuah manis… Begitu pula doa kawan-kawannya yang lain di waktu malam, semuanya telah mencapai tujuan yang ingin mereka capai dari perjalanan mereka itu. Benarlah bahwa doa itu dapat membuat seorang berubah menjadi sosok yang berbeda dalam sekejap saja… Shalat pun selesai sudah ditunaikan. Mereka kemudian keluar dari Masjidil Haram untuk mencari hotel di dekat Masjid itu dan airmata masih saja mengalir memenuhi wajahnya… Kebetulan salah seorang dari rombongan itu adalahseorang hafizh al Quran. Dan ia adalah orang yang sangat tawadhu, rendah hati dan murah senyum. Maka ketika ia melihat betapa besarnya perubahan kawan pemabuk mereka itu, ia pun semakin memuliakannya, sampai-sampai ia bersikeras untuk membawakan sendal sang pemabuk untuk dikenakannya di luar pintu Masjidil Haram. Tindakan dari sang Hafizh Al Quran ini menyeruakkan berbagai perasaan luar biasa yang hanya diketahui oleh Allah dalam hati sang pemabuk itu. Mereka akhirnya menyewa kamar di sebuah hotel yang tidak jauh dari Masjidil Haram. Disana mereka tinggal selama lima hari dan pemabuk yang telah bertaubat itu setiap hari di waktu shalat datang ke Masjidil Haram, bergantung di Multazam, menangis dan membuat orang-orang di dekatnya ikut menangis. Dan di waktu malam, ia bangun untuk shalat dan menangis. Nyaris engkau tidak pernah melihatnya tidur. Siang hari ia menangis di Masjidil Haram, lalu di waktu malam ia bangun untuk shalat dan berdoa pada Allah dengan suara penuh tangisan. Dan setelah perjalanan itu usai, mereka pun kembali ke kota mereka. Ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang, ‘sang pemabuk’ itu meminta agar mereka berhenti sebentar. Mereka pun berhenti sebentar mengikuti permintaannya. ‘Sang pemabuk’ itu kemudian mengeluarkan botol minumannya dari kantong hitam di depan kawan pemudanya dan dua kawan lain yang menyertainya. Ia menuangkan semua isinya dan berkata: “Persaksikanlah hari yang sangat agung dalam hidupku ini, aku tidak akan kembali lagi meminumnya…” Ia menuangkan semua isinya sambil menangisi semua dosa yang telah ia lakukan. Mata kawan-kawannya pun dipenuhi air mata. Mereka ingin berbicara namun mereka tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Airmata jauh lebih kuat daripada sebuah ucapan. Mereka pun menangis. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Kebisuan meliputi perjalanan itu, lalu suara sesengguk mulai terdengar dan tiba-tiba suara tangispun meliputi mereka… Sebelum mereka akhirnya tiba di kota mereka, mereka berkata kepadanya: “Sekarang engkau akan masuk ke rumahmu dengan wajah berseri-seri, penuh kasih dan sayang kepada keluargamu…” Mereka memberinya nasihat untuk memperlakukan anak istrinya dengan baik dan menjaga shalat berjamaahnya di masjid dekat rumahnya. Jika ia terus meniti jalan petunjuk dan taubat itu akan menjadi sebab ia mendapatkan rahmat Allah. “Demi Allah, aku tidak akan pernah mendurhakai Allah untuk selamanya,” ujarnya. “Insya Allah,” ujar kawan-kawan seperjuangannya dengan airmata yang memenuhi kelopak mata mereka. Ia akhirnya tiba di rumahnya. Ia masuk menemui istri dan anak-anaknya dan kondisinya telah benar-benar jauh berbeda. Sang istri tidak berusaha menyembunyikan rasa gembiranya atas apa yang ia saksikan. Ia menangis dan memeluk suaminya. Suaminya pun menangis dan mengecup keningnya. Ia kemudian mengecup anak-anaknya satu persatu sambil menangis. Hari-hari selanjutnya ia penuhi dengan kehadirannya untuk shalat di masjid dekat rumahnya. Perlahan-lahan tanda-tanda kebaikan nampak di wajahnya. Jenggotnya ia pelihara dan nampak memutih. Wajahnya mulai memancarkan tanda-tanda kebahagiaan. Ia seperti baru dilahirkan kembali. Begitulah hari demi hari berlalu, hingga suatu hari ia meminta kepada imam masjid untuk dapat membantu muadzin mengumandangkan adzan setiap hari. Sang imam menyetujuinya, hingga akhirnya sang muadzin resmi masjid itu meninggal dunia. Ia pun menggantikan kedudukannya. Ia juga mulai menghadiri majelis-majelis ilmu. Lalu ia memutuskan untuk menghafalkan Al Quran hingga akhirnya ia berhasil menyelesaikan hafalannya.Ia kemudian diangkat menjadi iamm Masjid di samping rumahnya, hingga hari ini.
(Sumber: ‘Apakah Ada Yang Mengambil Pelajaran’, Chicken Soup for
Mulim, Penerbit Sukses Publishing) Diposting oleh: Abu Fahd Negara Tauhid A’isyah radhiyallahu ‘anha pernah mengomentari masalah ini dengan sangat mengagumkan, bahwa sesungguhnya yang pertama kali Allah turunkan adalah ayat-ayat mengenai Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Baru setelah para sahabat kuat imannya, diturunkan ayat-ayat tentang halal dan haram. Lalu Aisyah berkata : Seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan engkau meminum khamer, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan  khamer selamanya. Dan seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan engkau berzina, niscaya mereka akan menjawabnya: kami tidak akan meninggalkan zina selamanya. (HR Bukhari no. 4609).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar