Seorang manusia apabila tidur,
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewafatkannya, yang dikenal
dengan kematian shugra (kecil) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
اللهُ يَـتَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ
فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَــيْــهَا الْمَوْتَ
وَيُرْسِلُ اْلأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ
َلآيــــَاتٍ لِقَوْمٍ يَــتَفَكَّرُونَ . الزمر:42
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa
(orang) yang belum mati di waktu tidurnya ; maka Dia tahanlah jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang
lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikan itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir (QS. Az
Zumar:42)
Tidur dikatakan dengan kematian kecil dikarenakan saat itu ruh pergi
kemana saja sekehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu
diantara do’a tidur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam adalah :
بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ
نَفْسِي فَاغْفِرْ لَهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ
بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ . رواه البخاري و مسلم
“Dengan namaMu Tuhan saya berbaring dan denganMulah saya terjaga,
apabila Engkau menahan jiwaku, (mewafatkanku) ampunilah dia, dan jika
Engkau melepaskannya (menghidupkannya), jagalah dia sebagaimana Engkau
menjaga (ruh) hamba-hamba-Mu yang shalih” (HR. Bukhari dan Muslim)
Macam-macam mimpi
Mimpi terbagi atas tiga macam : mimpi yang disukai (baik), mimpi yang
tak bermakna dan mimpi yang dibenci (buruk). Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda :
الرُّؤْيَا ثَلاَثَةٌ فَبُشْرَى مِنَ اللهِ وَحَدِيثُ النَّفْسِ
وَتَخْوِيفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ
رواه أحمد
“Mimpi itu ada tiga macam : Berita gembira dari Allah (mimpi baik),
mimpi dari diri sendiri/ ungkapan jiwa (mimpi tak bermakna) dan gangguan
syaithan (mimpi buruk)” (HR. Ahmad)
1. Mimpi yang disukai (Baik)
Yaitu apabila seseorang melihat dalam mimpinya sesuatu yang ia sukai.
Sesungguhnya mimpi ini datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hal
ini merupakan suatu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan
kepada manusia, karena apabila seorang manusia melihat hal-hal yang ia
sukai maka hal tersebut dapat menambah semangat dan kegembiraannya dan
menjadikan sebagai berita gembira baginya karena diantara berita gembira
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada seorang muslim di dunia
adalah mimpi yang baik yang ia mimpikan sendiri atau yang dimimpikan
orang lain tentangnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda
:
لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلاَّ الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا: وَمَا
الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ : الرُّؤْيـــَـا الصَّالِحَةُ
رواه البخاري
“Tidaklah tinggal dari tanda-tanda kenabian kecuali berita-berita
gembira”, para shahabat bertanya :”Apa itu berita-berita gembira?”,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Mimpi yang baik”
(HR. Bukhari) Dan dianjurkan baginya untuk menceritakan mimpi yang baik
itu kepada orang lain sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam :
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا يُحِبُّهَا فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ اللهِ
فَلْيَحْمَدِ اللهَ عَلَيْهَا وَلْيُحَدِّثْ بِهَا
رواه البخاري و مسلم
“Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang ia sukai maka
sesungguhnya ia datangnya dari Allah Ta’ala maka bertahmidlah (ucapkan
“Al hamdulillah”) dan kabarkanlah mimpi baik tersebut (kepada orang
lain)” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Mimpi yang tidak mempunyai makna dan tujuan
Mimpi jenis ini terkadang muncul dari diri sendiri mungkin karena
memikirkan sesuatu atau terlalu sibuk akan suatu urusan sehingga hal
tersebut muncul dalam mimpinya. Atau bisa jadi mimpi ini merupakan
permainan syaithan sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim,
diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam :
إِنِّي حَلَمْتُ أَنَّ رَأْسِي قُطِعَ فَأَنَا أَتَّبِعُهُ فَزَجَرَهُ
النَّبِيُّ وَقَالَ: لاَ تُخْبِرْ بِتَلَعُّبِ الشَّيْطَانِ بِكَ فِي
الْمَنَامِ
رواه مسلم
“Sesungguhnya saya telah bermimpi (melihat) kepalaku telah terputus
(dari badanku) lalu saya mengikutinya dari belakang, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencelanya dan bersabda : “Janganlah kamu
ceritakan (kepada orang lain) permainan syaithan terhadapmu di dalam
mimpi(mu)” (HR. Muslim)
3. Mimpi Buruk
Yaitu apabila seseorang melihat dalam mimpinya sesuatu yang ia benci.
Mimpi ini datangnya dari syaithan yakni dengan menampakkan hal-hal yang
jelek, yang dengannya seorang manusia dapat terkejut, sedih dan bisa
jadi hingga membuatnya sakit, karena syaithan adalah musuh manusia,
mereka menyukai apa yang dibenci oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
إِنَّمَا الــنَّجْوَى مِنْ الشَّــيْطَانِ لِــيَحْزُنَ الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَـــيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَعَلَى
اللهِ فَلْـــيَــتَوَكَّلْ الْمُؤْمِنُونَ . المجادلة :10
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaithan, supaya
orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu
tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin
Allah dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman
bertawakkal” (QS. Al Mujaadalah : 10)
Untuk itu apabila seseorang melihat mimpi yang buruk hendaknya ia
meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
kejahatan-kejahatan syaithan dan keburukan-keburukan yang ia lihat di
dalam mimpinya, dan mimpi buruk ini jangan disampaikan kepada orang lain
karena bagaimana pun buruknya mimpi tersebut, hal tersebut tidak dapat
membahayakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
وَإِذَا رَأَى غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَكْرَهُ فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ
الشَّيْطَانِ فَلْيَسْتَعِذْ مِنْ شَرِّهَا وَلاَ يَذْكُرْهَا ِلأَحَدٍ
فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ
رواه البخاري ومسلم
“Apabila (kalian) melihat selain dari itu (mimpi baik) berupa hal-hal
yang dibenci, maka sesungguhnya itu datangnya dari syaithan maka
berlindunglah (kepada Allah) dari kejahatannya (syaithan) dan janganlah
ia menceritakannya kepada seorangpun, karena mimpi tersebut tidak
membahayakannya” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Namun disayangkan yang terjadi sekarang, sebagian orang apabila ia
melihat hal-hal yang buruk dalam mimpinya justru berusaha untuk mencari
tahu ta’wil dari mimpi tersebut baik dengan mencarinya di dalam
buku-buku atau dengan menanyakan langsung kepada orang lain tanpa
menyadari bahwa dengan mengungkapkan mimpi buruknya kepada orang lain
bisa jadi hal tersebut bisa menjadi suatu kenyataan, jika Allah
menghendaki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan penyakit kecuali ada
obatnya, demikian pula dengan mimpi buruk. Dan diantara obat dari mimpi
buruk tersebut adalah:
a. Meludah ke kiri sebanyak 3 kali dan berta’awwudz kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari kejahatan syaithan dan keburukan yang ia
mimpikan sebanyak 3 kali kemudian merubah posisi tidur ke sisi yang
lain. Apabila ia berbaring pada sisi kiri maka ia merubahnya ke sisi
kanan begitupula sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda :
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الرُّؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلْيَبْصُقْ عَنْ
يَسَارِهِ ثَلَاثًا وَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ثَلَاثًا
وَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ جَنْبِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ
رواه مسلم
“Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang ia benci, maka
hendaknya ia meludah ke kiri sebanyak 3 kali dan berlindunglah kepada
Allah dari kejahatan syaithan sebanyak 3 kali dan rubahlah posisi
tidurnya dari posisi sebelumnya ke posisi lainnya” (HR. Muslim)
b. Apabila hal-hal di atas telah dilakukan, namun mimpi buruk
tersebut masih juga datang, maka hendaknya ia bangun, berwudhu kemudian
shalat, dan jangan ia menceritakannya kepada orang lain dengan
mengatakan : “Saya telah bermimpi begini dan begitu”, akan tetapi
hendaknya ia menyembunyikan mimpi buruk tersebut, seakan-akan ia tidak
pernah memimpikannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
وَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلاَ يَقُصَّهُ عَلَى أَحَدٍ
وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
رواه أحمد
“Dan apabila ia melihat (dalam mimpinya) sesuatu yang ia benci, maka
janganlah ia menceritakannya kepada seorangpun dan hendaknya ia bangun
kemudian shalat” (HR. Ahmad) Mimpi bertemu Nabi
Apabila seseorang bermimpi bertemu Nabi maka sesungguhnya ia telah
benar-benar melihat beliau, karena syaithan tidak bisa meniru wujud
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ أَوْ
لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ لَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي
رواه البخاري و مسلم
“Barang siapa yang melihatku dalam mimpi, sesungguhnya ia akan
melihatku dalam keadaan terjaga atau seakan-akan melihatku seperti dalam
keadaaan terjaga (karena) syaithan tidak dapat meniru wujudku” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Berkata tabi’in Muhammad bin Sirin رحمه الله (beliau adalah imam
dalam ta’bir mimpi) tentang makna hadits di atas : “Hal tersebut (ia
benar-benar melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) apabila sesuai
dengan ciri-ciri yang ada pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”.
Diriwayatkan bahwa apabila seseorang datang kepada Muhammad bin Sirin
رحمه الله, dan mengatakan bahwa ia telah melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dalam mimpinya, maka beliau berkata kepadanya :
“Sebutkan ciri-ciri orang yang engkau lihat dalam mimpimu itu?”, apabila
orang itu menyebutkan ciri-ciri yang tidak ada pada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, maka beliau berkata : “Sesungguhnya kamu tidak
melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam” (Lihat Fathul Bari
12:383-384)
Karenanya seseorang yang merasa pernah melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam hendaknya mencocokkan ciri-ciri Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dengan orang yang ia lihat dalam mimpinya, apa bila
sama maka ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan jika berbeda
maka ia bukanlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, akan tetapi ia
hanyalah keragu-raguan yang dimunculkan oleh syaithan walaupun dalam
mimpi tersebut ia mengaku sebagai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun bagi yang mendapatinya sesuai dengan ciri-ciri yang ada pada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. maka hal yang wajib untuk diketahui
adalah semua hadits-hadits dalam mimpi tersebut harus tidak bertentangan
dengan syari’at, dalam artian bahwa apabila salah seorang datang dan
mengatakan bahwa dia telah bertemu atau melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam dalam mimpinya dan dia memerintahkannya untuk melakukan
sesuatu atau melarang akan sesuatu, namun perintah atau larangan
tersebut bertentangan dengan syariat maka berita tersebut adalah berita
bohong yang dia buat-buat atau berita yang dia dapatkan dari syaithan,
karena tidak mungkin sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbeda
dengan syariat yang pernah beliau bawa. Dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam telah melarang untuk berbohong tentang mimpi dan telah
menjulukinya sebagai pembohong besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْفِرَى أَنْ….يُرِيَ عَيْنَهُ مَا لَمْ تَرَ
رواه البخاري
“Sesungguhnya diantara kebohongan yang paling besar adalah
(diantaranya) …mengaku-ngaku pernah melihat (sesuatu dalam mimpinya)
yang sebenarnya ia tidak melihatnya..”(HR. Bukhari)
Kalau saja kita dilarang untuk mempercayai mimpi orang yang mengaku
bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika dia melarang atau
memerintahkan yang tidak sesuai dengan syari’at, maka terlebih lagi
jika hanya bermimpi bertemu syaikh fulan atau imam fulan yang
mengajarkan ibadah-ibadah atau dzikir-dzikir bid’ah yang tidak ada
dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah tentu jauh
lebih kita tidak percayai. Kita memohon kepada Allah untuk senantiasa
memberikan kita mimpi-mimpi yang indah dan di jauhkan dari mimpi-mimpi
yang buruk….. Amin
Maraji’: Syarh Riyadhus Shalihin jilid 7 hal. 393-402, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin رحمه الله
"Orang yang berpegangan kepada sunnahku pada saat umatku dilanda kerusakan maka pahalanya seperti seorang syahid".(HR. Ath-Thabrani)
Minggu, 16 Oktober 2011
AKU SUKA KAMU, AKHI….
“Aih, Kenapa sih,… kok islam melarang pacaran??
Begitu keluhan fulanah. Buat Fulanah ia melihat ada sisi positif yang
bisa diambil dari pacaran ini. Pacaran atau menurutnya ‘penjajakan’
antara dua insan lain jenis sebelum menikah sangat penting agar
masing-masing pihak dapat mengetahui karakter satu sama lainnya (dan
biasanya untuk memahami karakter pasangannya ada yang bertahun-tahun
berpacaran lho!!). Fulanah menambahkan ,”Jadi dengan berpacaran kita
akan lebih banyak belajar dan tahu, tanpa pacaran ?? Ibarat membeli
kucing dalam karung!! Enggak deh…!”
Kemudian ia menambahkan “Bila suka dan serius bisa diteruskan ke
pelaminan bila tidak ya,..cukup sampai disini..bye-bye!!, Mudahkan?”
Hmm… Fulanah tidakkah engkau melihat dampak buruk dari berpacaran ini,
ketika masing-masing pihak memutuskan berpisah??…
Fulanah apakah engkau yakin benar apabila “putus dari pacaran” hati ini
tidak sakit? Benarkah hati ini bisa melupakan bekas-bekas dari pacaran
itu? Tidakkah hati ini kecewa, pedih, atau ikut menangis bersama butiran
air mata yang menetes??
Sulit dibayangkan! Karena memang begitulah yang saya lihat didepan mata
menyaksikan orang yang baru saja putus pacaran…
Bila memang kita tanya semua wanita muslimah seusia Fulanah (yang
sedang beranjak dewasa) maka akan melihat ‘pacaran’ ini dengan sejuta
nilai positif. Jadi, jangan merasa aneh bila kita dapati mereka merasa
malu dengan kawannya karena belum punya pacar!!..
Duh,..kasihan sekali…
Wahai ukhti muslimah… Mari kita tela’ah bersama dengan lebih dalam.
Berdasarkan fakta yang ada, bila anda mau menengok sekilas ke surat
kabar, tetangga sebelah atau lingkungan sekitar , siapa sebenarnya yang
banyak menjadi korban ‘keganasan’ dari pacaran ini? Wanita bukan??..
Bila anda setuju dengan saya, Alhamdulillah berarti hati anda sedikit
terbuka. Ya,… coba lihat akibat dari berpacaran ini. Awalnya memang
hanya bertemu, ngobrol bareng, bersenda gurau, ketawa ketiwi, lalu
setelah itu?? Tentu saja setan akan terus berperan aktif, dia baru akan
meninggalkan keturunan Adam ini setelah terjerumus dalam dosa atau
maksiat.
Pernahkah anda mendengar teman atau tetangga ukhti hamil di luar
nikah?
Suatu klinik illegal untuk praktek aborsi penuh dengan kaum wanita yang
ingin menggugurkan kandungannya?
Karena sang pacar lari dengan langkah seribu atau tidak mau kedua
orangtuanya tahu?
Atau pernahkah engkau membaca berita ada seorang wanita belia yang nekat
bunuh diri minum racun serangga karena baru saja di putuskan oleh
kekasihnya??
Sadarkah kita, bahwa sebenarnya kaum hawalah yang banyak dieksploitasi
dari ‘ajang pacaran ini?
Sungguh, islam telah memuliakan wanita dan menghormati kedudukan
mereka. Tidak percaya??lihat hadits ini..
”janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang
perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya” (HR.Bukhari,
Muslim dan Ahmad).
Islam melarang laki-laki untuk berduaan tanpa ada orang ketiga karena
islam tidak menginginkan terjadinya pelecehan ‘seksual’ terhadap
wanita. Sehingga jadilah mereka wanita-wanita muslimah terhormat dan
terjaga kesuciannya. Untuk kaum laki-laki pun islam melarang mereka
menyentuh wanita yang bukan mahramnya coba simak hadits ini :
“Sungguh bila kepala salah seorang ditusuk dengan besi panas lebih
baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (HR.Thabrani,
dalam Mu’jamul Kabir).
Nah, jelas bukan mengapa islam melarang pacaran??
Bila memang seorang laki-laki ingin serius menjalin hubungan dengan
seorang wanita, maka islam telah menyediakan sarananya, yaitu menikah.
Karena islam Bukanlah agama yang kaku, maka islam menganjurkan kepada
masing-masing pihak untuk saling berkenalan (ta’aruf). Tentu saja tidak
berduaan lho, …harus ada pihak ketiganya. Setelah itu? Ya,. selamat
bertanya tentang biografi calon pasangan anda, apabila kurang jelas,
masih kurang yakin..islam menganjurkan mereka untuk shalat istikharah
agar di berikan pilihan yang mantap yang nantinya insya Allah akan
berakibat baik bagi dunia dan akhirat kedua belah pihak. Setelah mantap
dan yakin akan pilihannya..kuatkan azzam (tekad), dan Bismillah…
menikah..!! Indah bukan??
Dinukil dari :
http://jilbab.or.id/archives/436-pacarankenapa-nggak-boleh-sih/.
Penulis: ummu raihanah.
TUHAN SEMBILAN SENTI
Karya: Taufiq Ismail
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat
siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi
perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak
merokok.
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan
cara merokok.
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai
kita.
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak
rokok.
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di
kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih
jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur
di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau
itu, bisa ketularan kena.
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen
sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang
goblok merokok.
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi
orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak
merokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai
kita.
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip
berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya,
kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99
butirnya.
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan
mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang
dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang
sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul
khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah
dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi
dimakruh-makruhkan, jangan.
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi
itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk.
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah
120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.
Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma
setingkat di bawah korban narkoba.
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat
berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah
dan cerdasnya.
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’
dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk
dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap
tuhan-tuhan ini.
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
KENAPA BINGUNG?
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya mahasiswa
tahun-tahun pertama di fakultas Syari’ah, kami banyak menemukan
permasalahan yang mengandung perbedaan pendapat, dan terkadang pendapat
yang rajih dalam sebagian masalah, ternyata bertolak belakang dengan
sebagian pendapat ulama sekarang. Atau kadang kami menemukan
masalah-masalah tapi tidak ada satu pun yang rajih, sehingga kami
bingung dalam hal ini. Apa yang harus kami lakukan berkenaan dengan
masalah yang mengandung perbedaan pendapat atau ketika kami ditanya oleh
orang lain? Semoga Allah memberi kebaikan pada Syaikh.
Jawaban.
Pertanyaan semacam ini tidak hanya dialami oleh para penuntut ilmu
syari’at, tapi merupakan masalah umum setiap orang. Jika seseorang
mendapati perbedaan pendapat tentang suatu fatwa, ia akan kebingungan.
Tapi sebenarnya tidak perlu dibingungkan, karena seseorang itu, jika
mendapatkan fatwa yang berbeda, maka hendaknya ia mengikuti pendapat
yang dipandangnya lebih mendekati kebenaran, yaitu berdasarkan keluasan
ilmunya dan kekuatan imannya, sebagaimana jika seseorang sakit, lalu ada
dua dokter yang memberikan resep berbeda, maka hendaknya ia mengikuti
perkataan dokter yang dipandangnya lebih benar dalam memberikan resep
obat. Jika ada dua pendapat yang dipandangnya sama, atau tidak dapat
menguatkan salah satu pendapat yang berbeda itu, maka menurut para
ulama, hendaknya ia mengikuti pendapat yang lebih tegas, karena itu
lebih berhati-hati. Sebagian ulama lainnya mengatakan, hendaknya ia
mengikuti yang lebih mudah, karena demikianlah dasar hukum dalam syari’
at Islam. Ada juga yang berpendapat, boleh memilih di antara pendapat
yang ada.
Yang benar adalah mengikuti yang mudah, karena hal itu sesuai dengan
konsep mudahnya agama Islam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
“Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” [Al-Baqarah: 185]
Dan firmanNya.
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.”[Al-Hajj: 78]
Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Bersikap mudahlah kalian dan jangan mempersulit. “[1]
Lain dari itu, karena pada mulanya manusia adalah “bebas dari
tanggung jawab” sehingga ada sesuatu yang mengubah status dasar ini.
Kaidah ini berlaku bagi orang yang tidak dapat mengetahui yang haq
dengan dirinya sendiri. Namun bagi yang bisa, seperti halnya thalib ‘Urn
(penuntut ilmu syar’i) yang bisa membaca pendapat-pendapat seputar
masalah dimaksud, maka hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya
lebih benar berdasarkan dalil-dalil yang ada padanya. Dalam hal ini ia
harus meneliti dan membaca untuk mengetahui pendapat yang lebih benar di
antara pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para ulama.
[Kitabud Da'Wah (5), haL. 45-47, SyaikH Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il
Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. AI-Bukhari dalam Al-’Ilm (69).
Sumber : http://almanhaj.or.id
FATWA-FATWA TENTANG CERITA FIKSI
Pandangan syariat tentang menulis dan membaca cerita fiksi.
السؤال
هل يحل في الإسلام تأليف الكتب الخيالية أم يعتبر هذا نوعاً من الكذب؟
Pertanyaan, “Apakah di dalam Islam diperbolehkan menulis buku cerita fiksi atau cerita fiksi dinilai sebagai bagian dari dusta?”
الفتوى
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج” رواه أحمد وأبو داود وغيرهما، وزاد ابن أبي شيبة في مصنفه: “فإنه كانت فيهم أعاجيب”.
وقد صحح الألباني هذه الزيادة
Jawaban, “Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.
قال أهل العلم: وهذا دالٌّ على حل سماع تلك الأعاجيب للفرجة لا للحجة، أي لإزالة الهم عن النفس، لا للاحتجاج بها، والعمل بما فيها.
Para ulama mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
وبهذا الحديث استدل بعض أهل العلم على حل سماع الأعاجيب والفرائد من كل ما لا يتيقن كذبه بقصد الفرجة، وكذلك ما يتيقن كذبه، لكن قصد به ضرب الأمثال والمواعظ، وتعليم نحو الشجاعة، سواء كان على ألسنة آدميين أو حيوانات إذا كان لا يخفى ذلك على من يطالعها.
هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii.
وذهب آخرون وهم علماء الحنفية إلى كراهة القصص الذي فيه تحديث الناس بما ليس له أصل معروف من أحاديث الأولين، أو الزيادة، أو النقص لتزيين القصص.
Di sisi lain para ulama bermazhab Hanafi berpendapat makruhnya kisah yang isinya adalah hal-hal yang tidak berdasar berupa kisah-kisah tentang kehidupan masa lalu atau memberi tambahan atau pengurangan pada kisah nyata dengan tujuan memperindah kisah.
ولكن لم يجزم محققو المتأخرين منهم كابن عابدين بالكراهة إذا صاحب ذلك مقصد حسن، فقال ابن عابدين رحمه الله: (وهل يقال بجوازه إذا قصد به ضرب الأمثال ونحوها؟ يُحَرَّر).
Akan tetapi ulama muhaqqiq (pengkaji) yang bermazhab hanafi dari generasi belakangan semisal Ibnu Abidin tidak menegaskan makruhnya hal tersebut jika orang yang melakukan memiliki niat yang baik. Ibnu Abidin mengatakan, “Mungkinkah kita katakan bahwa hukum hal tersebut adalah mubah jika maksud dari membawakan kisah tersebut untuk membuat permisalan dengan tujuan memperjelas maksud atau niat baik semisalnya? Perlu telaah ulang untuk memastikan hal ini”.
والذي يظهر جواز تأليف الكتب التي تحتوي قصصاً خيالياً إذا كان القارئ يعلم ذلك، وكان المقصد منها حسناً كغرس بعض الفضائل،
Kesimpulannya, diperbolehkan menulis buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat:
a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.
أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
والله أعلم.
Atau dengan tujuan sekedar membuat permisalan dalam proses belajar mengajar sebagaimana al maqamat karya al Hariri. Sepanjang pengetahuan kami tidak ada satupun ulama di masa silam yang mengingkari al maqamat tersebut padahal mereka mengetahui adanya buku fiksi tersebut dan mereka mengetahui bahwa hakikat buku tersebut adalah kisah-kisah fiksi yang tidak ada di alam nyata”.
Sumber: http://www.islamweb.net/ver2/fatwa/ShowFatwa.php?Option=FatwaId〈=A&Id=13278
Artikel www.ustadzaris.com
رقم الفتوى (8493) موضوع الفتوى القصص في مادة التعبير
No fatwa: 8493 tentang cerita yang ada dalam pelajaran ta’bir (membaca teks dalam pelajaran Bahasa Indonesia).
السؤال س: ما رأي فضيلتكم في القصص التي تطلب في المدرسة في مادة التعبير والتي تكون في غالبها قصصًا مكذوبة ولم تقع؟
Syeikh Ibnu Jibrin rahimahullah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa pendapat Anda tentang teks bacaan yang ada dalam buku pelajaran ta’bir yang biasanya berupa cerita rekaan yang tidak pernah terjadi secara real di alam nyata?”
الاجابـــة
إذا عرف الحاضرون أنها قصص خيالية ابتكرها الكاتب، أو القاص لشحذ أذهان الطلاب واجتذاب أفهامهم وضرب الأمثلة لهم فلا بأس بها
Jawaban Syeikh Ibnu Jibrin, “Jika para hadirin (baca:murid) yang ada di kelas seluruhnya paham bahwa kisah tersebut semata-mata cerita fiksi yang dibuat oleh penulis atau guru yang mengisahkan cerita tersebut dengan tujuan menarik konsentrasi dan perhatian para murid atau sebagai permisalan maka hukumnya adalah tidak mengapa.
فقد أقر العلماء القصص المؤلفة كما في مقامات بديع الزمان الهمذاني ومقامات الحريري ونحوها مع أنه يُفضل أن يبحث عن قصص واقعية يصوغها بعبارته ويظهر ما فيها من المعاني والفوائد. والله أعلم.
Alasannya adalah karena para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis.
Akan tetapi yang lebih baik adalah mencari kisah-kisah nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan pesan dan pelajaran yang terkandung di balik kisah tersebut”.
Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=8493&parent=4160
Artikel www.ustadzaris.com
والسؤال الثاني : عن حكم كتابة القصص الخيالية الإسلامية ؟
Pertanyaan, “Apa hukum cerita fiksi islami?”
أما بالنسبة للسؤال الثاني : فالظاهر أن القصة إذا كانت متخيلة لأشخاص متخيلين بأحداث متخيلة فهي جائزة، مادام أن الشخص يقصد تقريب المعاني الشرعية، وتقريرها.
Jawaban Syaikh Dr Muhammad Bazmul,
“Yang tepat kisah fiksi itu diperankan oleh tokoh-tokoh fiktif dalam rangkaian peristiwa yang juga fiktif hukumnya boleh jika penulis cerita fiksi bermaksud untuk menyampaikan dan memahamkan kepada pembaca pesan-pesan yang sejalan dengan syariat.
والأفضل لهذا الذي رزقه الله موهبة الكتابة القصصية أن يقتصر على ما ورد في القرآن العظيم والسنة النبوية، فهذه أحسن القصص، ومعاني الشرع فيها متقررة على أتم وجه، بلا محظور.
Namun yang terbaik bagi orang yang Allah beri bakat untuk menulis kisah adalah mencukupkan diri dengan kisah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah Nabi. Itulah sebaik-baik kisah dan nilai-nilai yang yang ada di dalamnya juga disampaikan dengan demikian sempurna tanpa ada hal terlarang di dalamnya”.
Sumber:
http://uqu.edu.sa/page/ar/119883
Dinukil dari: http://ustadzaris.com
السؤال
هل يحل في الإسلام تأليف الكتب الخيالية أم يعتبر هذا نوعاً من الكذب؟
Pertanyaan, “Apakah di dalam Islam diperbolehkan menulis buku cerita fiksi atau cerita fiksi dinilai sebagai bagian dari dusta?”
الفتوى
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج” رواه أحمد وأبو داود وغيرهما، وزاد ابن أبي شيبة في مصنفه: “فإنه كانت فيهم أعاجيب”.
وقد صحح الألباني هذه الزيادة
Jawaban, “Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.
قال أهل العلم: وهذا دالٌّ على حل سماع تلك الأعاجيب للفرجة لا للحجة، أي لإزالة الهم عن النفس، لا للاحتجاج بها، والعمل بما فيها.
Para ulama mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
وبهذا الحديث استدل بعض أهل العلم على حل سماع الأعاجيب والفرائد من كل ما لا يتيقن كذبه بقصد الفرجة، وكذلك ما يتيقن كذبه، لكن قصد به ضرب الأمثال والمواعظ، وتعليم نحو الشجاعة، سواء كان على ألسنة آدميين أو حيوانات إذا كان لا يخفى ذلك على من يطالعها.
هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii.
وذهب آخرون وهم علماء الحنفية إلى كراهة القصص الذي فيه تحديث الناس بما ليس له أصل معروف من أحاديث الأولين، أو الزيادة، أو النقص لتزيين القصص.
Di sisi lain para ulama bermazhab Hanafi berpendapat makruhnya kisah yang isinya adalah hal-hal yang tidak berdasar berupa kisah-kisah tentang kehidupan masa lalu atau memberi tambahan atau pengurangan pada kisah nyata dengan tujuan memperindah kisah.
ولكن لم يجزم محققو المتأخرين منهم كابن عابدين بالكراهة إذا صاحب ذلك مقصد حسن، فقال ابن عابدين رحمه الله: (وهل يقال بجوازه إذا قصد به ضرب الأمثال ونحوها؟ يُحَرَّر).
Akan tetapi ulama muhaqqiq (pengkaji) yang bermazhab hanafi dari generasi belakangan semisal Ibnu Abidin tidak menegaskan makruhnya hal tersebut jika orang yang melakukan memiliki niat yang baik. Ibnu Abidin mengatakan, “Mungkinkah kita katakan bahwa hukum hal tersebut adalah mubah jika maksud dari membawakan kisah tersebut untuk membuat permisalan dengan tujuan memperjelas maksud atau niat baik semisalnya? Perlu telaah ulang untuk memastikan hal ini”.
والذي يظهر جواز تأليف الكتب التي تحتوي قصصاً خيالياً إذا كان القارئ يعلم ذلك، وكان المقصد منها حسناً كغرس بعض الفضائل،
Kesimpulannya, diperbolehkan menulis buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat:
a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.
أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
والله أعلم.
Atau dengan tujuan sekedar membuat permisalan dalam proses belajar mengajar sebagaimana al maqamat karya al Hariri. Sepanjang pengetahuan kami tidak ada satupun ulama di masa silam yang mengingkari al maqamat tersebut padahal mereka mengetahui adanya buku fiksi tersebut dan mereka mengetahui bahwa hakikat buku tersebut adalah kisah-kisah fiksi yang tidak ada di alam nyata”.
Sumber: http://www.islamweb.net/ver2/fatwa/ShowFatwa.php?Option=FatwaId〈=A&Id=13278
Artikel www.ustadzaris.com
رقم الفتوى (8493) موضوع الفتوى القصص في مادة التعبير
No fatwa: 8493 tentang cerita yang ada dalam pelajaran ta’bir (membaca teks dalam pelajaran Bahasa Indonesia).
السؤال س: ما رأي فضيلتكم في القصص التي تطلب في المدرسة في مادة التعبير والتي تكون في غالبها قصصًا مكذوبة ولم تقع؟
Syeikh Ibnu Jibrin rahimahullah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa pendapat Anda tentang teks bacaan yang ada dalam buku pelajaran ta’bir yang biasanya berupa cerita rekaan yang tidak pernah terjadi secara real di alam nyata?”
الاجابـــة
إذا عرف الحاضرون أنها قصص خيالية ابتكرها الكاتب، أو القاص لشحذ أذهان الطلاب واجتذاب أفهامهم وضرب الأمثلة لهم فلا بأس بها
Jawaban Syeikh Ibnu Jibrin, “Jika para hadirin (baca:murid) yang ada di kelas seluruhnya paham bahwa kisah tersebut semata-mata cerita fiksi yang dibuat oleh penulis atau guru yang mengisahkan cerita tersebut dengan tujuan menarik konsentrasi dan perhatian para murid atau sebagai permisalan maka hukumnya adalah tidak mengapa.
فقد أقر العلماء القصص المؤلفة كما في مقامات بديع الزمان الهمذاني ومقامات الحريري ونحوها مع أنه يُفضل أن يبحث عن قصص واقعية يصوغها بعبارته ويظهر ما فيها من المعاني والفوائد. والله أعلم.
Alasannya adalah karena para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis.
Akan tetapi yang lebih baik adalah mencari kisah-kisah nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan pesan dan pelajaran yang terkandung di balik kisah tersebut”.
Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=8493&parent=4160
Artikel www.ustadzaris.com
والسؤال الثاني : عن حكم كتابة القصص الخيالية الإسلامية ؟
Pertanyaan, “Apa hukum cerita fiksi islami?”
أما بالنسبة للسؤال الثاني : فالظاهر أن القصة إذا كانت متخيلة لأشخاص متخيلين بأحداث متخيلة فهي جائزة، مادام أن الشخص يقصد تقريب المعاني الشرعية، وتقريرها.
Jawaban Syaikh Dr Muhammad Bazmul,
“Yang tepat kisah fiksi itu diperankan oleh tokoh-tokoh fiktif dalam rangkaian peristiwa yang juga fiktif hukumnya boleh jika penulis cerita fiksi bermaksud untuk menyampaikan dan memahamkan kepada pembaca pesan-pesan yang sejalan dengan syariat.
والأفضل لهذا الذي رزقه الله موهبة الكتابة القصصية أن يقتصر على ما ورد في القرآن العظيم والسنة النبوية، فهذه أحسن القصص، ومعاني الشرع فيها متقررة على أتم وجه، بلا محظور.
Namun yang terbaik bagi orang yang Allah beri bakat untuk menulis kisah adalah mencukupkan diri dengan kisah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah Nabi. Itulah sebaik-baik kisah dan nilai-nilai yang yang ada di dalamnya juga disampaikan dengan demikian sempurna tanpa ada hal terlarang di dalamnya”.
Sumber:
http://uqu.edu.sa/page/ar/119883
Dinukil dari: http://ustadzaris.com
Pertanyaan:
1. Apa hukumnya bila kita menaburkan bunga di atas kuburan sementera kita tidak ada niat untuk syirik kepada allah melainkan hanya untuk mengharumkan kuburan tersebut dan sekitarnya.
2. Kita masuk kubur dengan memakai sandal bagaimana hukumnya,
Demikian pertanyaan kita terima kasih.
Hasanuddin (fispra_bappXXXXXXX@yahoo.com)
Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.
Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al quran dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).
Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).
Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).
Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.
Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (H.r. Muslim: 3012).
Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.
Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa: 44).
Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.
Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).
Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.
Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn: 26-27).
Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.
Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).
Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.
Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.
Referensi: ikhwanmuslim.com
Sumber: artikelassunnah.blogspot.com
1. Apa hukumnya bila kita menaburkan bunga di atas kuburan sementera kita tidak ada niat untuk syirik kepada allah melainkan hanya untuk mengharumkan kuburan tersebut dan sekitarnya.
2. Kita masuk kubur dengan memakai sandal bagaimana hukumnya,
Demikian pertanyaan kita terima kasih.
Hasanuddin (fispra_bappXXXXXXX@yahoo.com)
Penjelasan tabur bunga di kubur.
Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.
Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al quran dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).
Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).
Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).
Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.
Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين
“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (H.r. Muslim: 3012).
Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.
Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa: 44).
Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.
Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).
Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.
Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn: 26-27).
Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.
Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).
Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.
Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.
Referensi: ikhwanmuslim.com
Sumber: artikelassunnah.blogspot.com
HUKUM GAMBAR ATAU FOTO
Segala puji bagi Alloh Ta’ala,
sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan dan qudwah
kita Muhammad bin Abdillah, segenap keluarga dan shahabat beliau serta
orang-orang yang selalu istiqomah dan komitmen terhadap jejak dan jalan
beliau sampai hari kiamat.
Dan sungguh Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
dalam beberapa sabda beliau, baik yang tertulis dalam Sunan, Musnad dan
ash-Shihah yang menunjukkan diharamkannya gambar makhluk yang bernyawa,
baik berwujud manusia atau selainnya. Sehingga kita dianjurkan dan
diperintahkan untuk memusnahkan gambar-gambar tersebut bahkan para
tukang gambarnya mendapatkan laknat dan mereka termasuk seberat-berat
manusia yang akan mendapatkan siksa pada hari kiamat kelak.
Namun gambar dalam pengertian pada kitab-kitab hadits tersebut,
adalah gambar dalam makna melukis dengan tangan, sehingga gambar dalam
makna fotografi yang berkembang saat ini, menjadi hal yang
diperselisihkan.
Dan untuk lebih jelasnya, dalam rubik ini akan kami paparkan
permasalahan ini secara terperinci berkaitan tentang hakikat dan hukum
gambar yang sebenarnya (yang diharamkan dan yang diperbolehkan)
berdasarkan dalil-dalil yang shohih berikut pendapat sebagian Ulama
tentang masalah ini. Insya Alloh .
HAKIKAT GAMBAR
Pada hakikatnya menggambar itu terbagi menjadi dua bentuk:
Gambar dengan tangan (melukis), yaitu seseorang dengan keahlian tangan
dan inspirasinya menggambar atau melukis dengan memakai alat-alat lukis,
baik yang dilukisnya itu dalam bentuk makhluk hidup yang bernyawa
ataupun selainnya.
Gambar dengan alat ( fotografi/kamera ), yaitu seseorang dengan memakai
kecanggihan tehnologi (kamera) memindahkan media yang dinginkan menjadi
sebuah gambar, baik media tersebut dalam bentuk makhluk hidup bernyawa
atau selainnya.
HUKUM GAMBAR
Sebelum kita bahas tentang hukum gambar sebenarnya dalam timbangan
syara’, maka perlu diketahui dan dipahami bahwa gambar berdasarkan
hukumnya bisa terbagi menjadi dua bagian.
Gambar yang tidak bernyawa
Seperti gunung, sungai, matahari, bulan dan pepohonan atau benda mati
yang lain. Maka yang demikian tidak terlarang menurut mayoritas Ulama,
meskipun ada yang berpendapat tidak bolehnya menggambar sesuatu yang
berbuah dan tumbuh seperti pohon, tumbuh-tumbuhan dan semacamnya, namun
pendapat ini lemah.
Gambar yang bernyawa
Menggambar semacam ini terbagi menjadi dua bentuk:
Menggambar dengan tangan (melukis), maka yang seperti
ini terlarang dan hukumnya haram. Dan perbuatan yang demikian termasuk
salah satu dari dosa-dosa besar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang telah memberikan peringatan dan
ancaman keras sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits di bawah
ini :
1. Riwayat Ibnu Abbas: Artinya, “Setiap pelukis berada dalam neraka,
dijadikan kepadanya setiap apa yang dilukis/digambar bernyawa dan
mengadzabnya dalam neraka Jahannam.” (H.R Muslim).
2. Riwayat Abu Khudzaifah: Bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang makan riba, dan orang
yang memberi makan dari riba, dan orang yang bertato, dan yang minta
ditato, dan pelukis/tukang gambar.” (H.R Bukhori )
3. Riwayat ‘Aisyah: Bahwa Rosululloh Shollallohu alaihi wa sallam
bersabda, “Seberat-berat manusia yang teradzab pada hari kiamat
adalah orang-orang yang ingin menyerupai ciptaan Alloh.” ( H.R
Bukhori dan Muslim ).
4. Riwayat Abu Huroiroh, beliau mendengar Rosululloh Shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Alloh Ta’ala berfirman: Dan siapa
yang lebih celaka daripada orang yang menciptakan ciptaan seperti
ciptaan-Ku, maka hendaklah mereka ciptakan sebutir jagung, biji-bijian
dan gandum (pada hari kiamat kelak).” (H.R Bukhori dan Muslim)
Dan menggambar (melukis) yang dimaksud pada beberapa hadits di atas
adalah menggambar dengan tangan, yaitu seseorang dengan keahlian dan
inspirasinya serta imajinasinya memindahkan sebuah gambar ke dalam
kanvas dengan tangannya sampai kemudian sempurna menyerupai ciptaan
Alloh Ta’ala, karena dia berusaha memulai sebagaimana Alloh Ta’ala
memulai, dan menciptakan sebagaimana Alloh Ta’ala menciptakan. Dan
meskipun tidak ada niatan sebagai upaya penyerupaan, namun suatu hukum
akan berlaku apabila tergantung atas sifatnya. Maka manakala terdapat
sifat, terdapat pula hukum, dan seorang pelukis gambar apabila
melukis/menggambar sesuatu maka penyerupaan itu ada (terjadi) walaupun
tidak diniatkan. Dan seorang pelukis pada umumnya tidak akan bisa
terlepas dari apa yang diniatkan sebagai penyerupaan, dan ketika apa
yang digambar itu hasilnya lebih baik dan memuaskan maka seorang pelukis
akan bangga dengannya. Dan penyerupaan akan terjadi hanya dengan apa
yang dia gambar, baik dikehendakinya atau tidak. Karena itulah ketika
seseorang melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang lain, maka
kita akan berkata: “Sesungguhnya perbuatan ini menyerupai perbuatan
itu, walaupun yang melakukan tidak bermaksud menyerupai.“
Menggambar dengan menggunakan selain tangan, seperti
menggambar dengan kamera (fotografi), yang dengannya sesuatu ciptaan
Alloh Ta’ala bisa berubah menjadi sebuah gambar, dan orang yang
melakukannya tanpa melakukan sesuatu kecuali mengaktifkan alat kamera
tersebut yang kemudian menghasilkan sebuah gambar pada sebuah kertas.
Maka bentuk menggambar semacam ini, di dalamnya terdapat permasalahan
diantara para Ulama’, karena yang demikian tidak pernah ada dan terjadi
pada jaman Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, khulafa’ur
Rosyidin, dan Ulama terdahulu dari kalangan as-Salaf. Sehinga Ulama
setelah mereka berbeda pendapat dalam menyikapinya:
1. Sebagian dari mereka mengatakan tidak boleh, dan hal ini
sebagaimana menggambar dengan tangan berdasarkan keumuman lafadz (secara
uruf/kebiasaan).
2. Sebagian dari mereka membolehkan, karena secara makna bahwa mengambar
dengan memakai alat kamera tidak seperti perbuatan pelukis yang
dengannya ada penyerupaan terhadap ciptaan Alloh Ta’ala.
Dan pendapat yang mengatakan diharamkannya menggambar dengan memakai
alat kamera lebih berhati-hati, sementara pendapat yang mengatakan
halalnya lebih sesuai dengan kaidah yang ada. Akan tetapi mereka yang
mengatakan halal ini mensyaratkan agar gambar yang dihasilkan tidak
merupakan perkara yang haram seperti gambar wanita (bukan mahrom), atau
gambar seseorang dengan maksud untuk digantungkan dalam kamar untuk
mengingatnya (sebagai pajangan), atau gambar yang tersimpan dalam album
untuk dinikmati dan diingat. Maka yang demikian haram hukumnya karena
mengambil gambar dengan alat kamera dan menikmatinya dengan maksud
selain untuk dihina dan dilecehkan haram menurut sebagian besar Ulama
sebagaimana yang demikian telah dijelaskan dalam as-Sunnah as-Shohihah.
Adapun terhadap gambar (foto) yang digunakan untuk tujuan dan
kepentingan tertentu, seperti foto untuk KTP, paspor, STNK, dan kegiatan
yang dengannya diminta sebagai bukti kegiatan maka yang demikian
tidaklah terlarang.
Sementara foto kenangan, seperti pernikahan, dan acara-acara
selainnya yang dengannya untuk dinikmati tanpa ada kepentingan yang
jelas maka hukumnya haram. Sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa
sallam saat menjelaskan bahwa para malaikat tidak akan masuk rumah yang
di dalamnya ada gambar. Dan bagi siapa saja yang memiliki foto-foto
demikian agar memusnahkannya, sehingga kita tidak berdosa lantaran
foto-foto tersebut.
Dan tidak ada perbedaan, apakah gambar tersebut memiliki bayangan
(berbentuk) atau tidak, sebagaimana tidak ada perbedaan apakah
menggambarnya dalam rangka untuk main-main, atau menggambarnya di papan
tulis untuk menjelaskan makna sesuatu agar mudah dipahami oleh siswa,
dan yang demikian maka seorang guru tidak boleh menggambar di papan
tulis gambar manusia ataupun hewan.
Namun dalam keadaan terpaksa, seorang guru boleh menggambar bagian
dari tubuh seseorang, seperti kaki kemudian menjelaskannya dan setelah
itu menghapusnya, dan kemudian menggambar tangan, atau kepala
sebagaimana cara di atas. Maka yang demikian tidak terlarang.
HUKUM MELIHAT GAMBAR
Adapun hukum melihat gambar yang terdapat dalam majalah, koran,
televisi (termasuk internet karena pada dasarnya dapat disebut majalah
elektronik) secara terperinci sebagai berikut:
1. Gambar Manusia
Jika yang dilihat gambar manusia dengan maksud untuk kenikmatan dan
kepuasan maka yang demikian haram hukumnya, dan jika bukan dalam rangka
itu yang dengan melihatnya tidak dengan tujuan kepuasaan atau
kenikmatan, hati dan syahwatnya tidak tergerak karena hal itu, maka
tidak apa-apa. Dan hal inipun dengan syarat terhadap mereka yang halal
untuk dilihat, seperti laki-laki melihat laki-laki, dan wanita melihat
wanita menurut pendapat yang kuat hal ini tidak terlarang dengan syarat
sesuai dengan kebutuhan (seperlunya) alias bukan semata karena
menginginkan gambar itu.
Dan jika yang dilihat adalah mereka yang tidak halal untuk dilihat,
seperti laki-laki melihat wanita (bukan mahrom), maka hukum tentang hal
ini masih samar dan meragukan namun pendapat yang berhati-hati adalah
tidak melihatnya karena khawatir terjadi fitnah Sebagaimana sabda
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu
Mas’ud Rodhiallohu anhu :“Janganlah seorang wanita tidur bersama dalam
satu selimut (bersentuhan tubuh) dengan wanita yang lain sehingga dia
membeberkan sifatnya kepada suaminya seolah-olah melihat wanita
tersebut.“ (HR.Bukhori ).
Dan membeberkan sifat sesuatu melalui gambar (bentuk tubuh) lebih
mengena daripada dengan sekedar membeberkan sifat saja. Dan menjauhi
dari setiap perantara fitnah merupakan perkara yang harus dilakukan.
Catatan: Untuk menghindari kesalahpahaman seakan laki-laki boleh melihat gambar sekalipun gambar wanita asing, maka hal ini perlu dirinci lebih lanjut, yaitu: Jika yang dilihat adalah wanita tertentu (secara khusus/pribadi karena sudah dikenal atau diidolakan) dengan tujuan menikmati dan untuk kepuasan syahwat, maka hukumnya haram karena ketika itu jiwanya sudah tertarik padanya dan terus memandang, bahkan bisa menimbulkan fitnah besar. Dan jika tidak demikian, dalam artian hanya sekedar melihat tanpa ada perasaan apa-apa (numpang lewat saja) dan tidak membuatnya mengamat-amati, maka pengharaman terhadap hal seperti ini perlu diberi catatan dulu, karena menyamakan melihat sekilas dengan melihat secara hakiki tidaklah tepat karena adanya perbedaan dari keduanya amat besar, akan tetapi sikap yang utama adalah menghindari karena hal itu menuntun seseorang untuk meilihat dan selanjutnya mengamat-amati, kemudian menikmati dengan syahwat, oleh karena itulah Rosululloh melarang hal itu sebagaimana hadits (artinya), “Janganlah seorang wanita tidur bersama dengan wanita yang lain dalam satu selimut (bersentuhan tubuh) sehingga dia membeberkan sifatnya kepada suaminya seolah-olah melihat wanita tersebut.“ (H.R. Bukhari ). Sedangkan bila terhadap bukan wanita tertentu (tidak bersifat khusus/pribadi dan pada asalnya tidak mengenalnya), maka tidak apa-apa melihatnya bila tidak khawatir terjerumus ke dalam larangan syari’at.2. Gambar selain manusia, maka tidak apa-apa melihatnya selama ia tidak bermaksud untuk memilikinya. PENUTUP Dari penjelasan di atas, kita berharap permasalahan yang ada menjadi jelas. Semoga Alloh Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufiq kepada kita semua. Wallohu a’lam bish showab. (Disarikan dari Majmû’ Fatâwa Wa Rasâ`il Syaikh Muhammad Bin Sholih al-Utsaimîn, oleh Fahd Bin Nâshir Bin Ibrohim as-Sulaiman)
Berkata Syeikh Bin Baz:
ولأن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أن الصورة إذا قطع رأسها كان باقيها
كهيئة الشجرة ، وذلك يدل على أن المسوغ لبقائها خروجها عن شكل ذوات
الأرواح ومشابهتها للجمادات ، والصورة إذا قطع أسفلها وبقي رأسها لم تكن
بهذه المثا…بة لبقاء الوجه ، ولأن في الوجه من بديع الخلقة والتصوير ما ليس
في بقية البدن ، فلا يجوز قياس غيره عليه عند من عقل عن الله ورسوله مراده
. وبذلك يتبين لطالب الحق أن تصوير الرأس وما يليه من الحيوان داخل في
التحريم والمنع؛ لأن الأحاديث الصحيحة المتقدمة تعمه
“Dan juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa gambar
kalau dipotong kepalanya maka sisanya seperti bentuk pohon, ini
menunjukkan bahwa alasan kenapa diperbolehkan adalah karena dia bukan
lagi berbentuk mahluk yang bernyawa. Dan dia lebih serupa dengan mahluk
mati. Dan gambar kalau dipotong bawahnya kemudian tersisa kepalanya maka
jadinya bukan seperti itu (tidak berganti menjadi bentuk mahluk mati),
dan juga wajah ini di dalamnya ada keindahan penciptaan dan gambar yang
tidak ada di anggota badan yang lain. Maka tidak boleh anggota badan
diqiyaskan kepada kepala bagi orang yang memahami maksud Allah dan
rasulNya. Dengan demikian jelas bagi pencari kebenaran bahwa menggambar
kepala mahluk hidup adalah terlarang karena keumuman hadits-hadits yang
shahih” (Majmu’ Fatawa Syeikh Bin Baz 4/219).
Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullah:
((أن قوله ” حتى تصير كهيئة الشجرة ” ، دليل على أن التغيير الذي يحل به
استعمال الصورة ، إنما هو الذي يأتي على معالم الصورة ، فيغيرها حتى تصير
على هيئة أخرى مباحة كالشجرة . و عليه فلا يجوز استعمال الصورة و لو كانت
بحيث لا تعيش لو كانت حية كما يقول بعض الفقهاء ، لأنها في هذه الحالة لا
تزال صورة اسما و حقيقة ، مثل الصور النصفية ، و أمثالها))
“ٍٍٍSesungguhnya ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sampai
menjadi bentuk pohon” dalil bahwasanya perubahan yang membolehkan
penggunaan gambar adalah perubahan pada tanda-tanda (yang menjadikan)
gambar (itu hidup) , sehingga menjadi bentuk lain yang diperbolehkan
seperti pohon, oleh karenanya tidak boleh menggunakan gambar (mahluk
bernyawa) meskipun dia tidak mungkin hidup dengan cara seperti itu,
karena dalam keadaan seperti ini dia masih gambar mahluk bernyawa baik
nama maupun hakikatnya, seperti foto setengah badan dan yang semisalnya”
(Silsilah Al-Ahadist Ash-Shahihah 1/693)
Tambahan :
[sumber: http://rumaysho.com]
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dalam berbagai hadits dilarang bagi kita untuk memajang gambar
makhluk bernyawa. Gambar yang terlarang dibawa ini adalah gambar manusia
atau hewan, bukan gambar batu, pohon dan gambar lainnya yang tidak
memiliki ruh. Jika gambar tersebut memiliki kepala, maka diperintahkan
untuk dihapus. Karena kepala itu adalah intinya sehingga gambar itu bisa
dikatakan memiliki ruh atau nyawa. Agar lebih jelas perhatikan terlebih
dahulu hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut. Hanya Allah
yang beri taufik.
Keterangan dari Berbagai Hadits [Lihat berbagai
hadits tentang hal ini di web Ustadz Abu Mu’awiyah:
http://al-atsariyyah.com/hadits-hadits-tentang-larangan-menggambar.html]
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا
فِيهِ صُورَةٌ
”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang
terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)”
(HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106)
Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوَرِ فِي
الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di
dalam rumah dan beliau melarang untuk membuat gambar.” (HR.
Tirmizi no. 1749 dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih)
Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ
وَلاَ قَبْرًا مُشْرَفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak
pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau meratakannya.” (HR.
Muslim no. 969) Dalam riwayat An-Nasai,
وَلَا صُورَةً فِي بَيْتٍ إِلَّا طَمَسْتَهَا
“Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.”
(HR. An Nasai no. 2031. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
dia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ
وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ وَرَأَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ
عَلَيْهِمَا السَّلَام بِأَيْدِيهِمَا الْأَزْلَامُ فَقَالَ قَاتَلَهُمْ
اللَّهُ وَاللَّهِ مَا اسْتَقْسَمَا بِالْأَزْلَامِ قَطُّ
“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau
tidak masuk ke dalamnya dan beliau memerintahkan agar semua gambar itu
dihapus. Beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas
ssalam tengah memegang anak panah (untuk mengundi nasib), maka
beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi Allah keduanya
tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sekalipun. “ (HR.
Ahmad 1/365. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini
shahih sesuai syarat Bukhari dan periwayatnya tsiqoh, termasuk perowi
Bukhari Muslim selain ‘Ikrimah yang hanya menjadi periwayat Bukhari)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara saya baru saja
menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar.
Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu
menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari
kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Bukhari
no. 5954 dan Muslim no. 2107 dan ini adalah lafazh Muslim). Dalam
riwayat Muslim,
أَنَّهَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ :
فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar,
maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya
memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”
Dari Ali radhiyallahu anhu, dia berkata,
صَنَعْتُ طَعَامًا فَدَعَوْتُ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم فَجَاءَ فَدَخَلَ فَرَأَى سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
فَخَرَجَ . وَقَالَ : إِنَّ الْمَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ
تَصَاوِيرُ
“Saya membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk datang. Ketika beliau datang dan
masuk ke dalam rumah, beliau melihat ada tirai yang bergambar, maka
beliau segera keluar seraya bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tidak
akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar.” (HR.
An-Nasai no. 5351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
dia berkata,
اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام
عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : « ادْخُلْ » . فَقَالَ : «
كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ
تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ
الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Jibril ‘alaihis salam
meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril
menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai
yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya
atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami
para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat
gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5365. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Pelajaran:
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas,
menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar yang terlarang dipajang adalah
gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu manusia dan hewan,
tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan
agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan
masuk ke dalam rumah. Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada
gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa
dikatakan bernyawa lagi.
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ
فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak
lagi disebut gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)
Menghapus Gambar Makhluk Bernyawa
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah
ditanya, “Bisakah engkau jelaskan mengenai jenis gambar yang mesti
dihapus?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Gambar yang mesti dihapus
adalah setiap gambar manusia atau hewan. Yang wajib dihapus adalah
wajahnya saja. Jadi cukup menghapus wajahnya walaupun badannya masih
tersisa. Sedangkan gambar pohon, batu, gunung, matahari, bulan dan
bintang, maka ini gambar yang tidak mengapa dan tidak wajib dihapus.
Adapun untuk gambar mata saja atau wajah saja (tanpa ada panca indera,
pen), maka ini tidaklah mengapa, karena seperti itu bukanlah gambar dan
hanya bagian dari gambar, bukan gambar secara hakiki.” (Liqo’ Al
Bab Al Maftuh, kaset no. 35)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah
menjelaskan dalam kesempatan yang lain bahwa gambar makhluk bernyawa
boleh dibawa jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya,
“Dalam majelis sebelumnya, engkau katakan bahwa boleh membawa gambar
dengan alasan darurat. Mohon dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan
darurat?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal
gambar yang ada pada mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar
ikutan yang tidak bisa tidak harus turut serta dibawa atau keringanan
dalam qiyadah (pimpinan). Ini adalah di antara kondisi darurat yang
dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar
tersebut dan di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan
gambar raja yang ada di mata uang, tidak seorang pun yang punya maksud
mengagungkan gambar itu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 33)
Penjelasan hukum dalam tulisan di atas semata-mata berdasarkan dalil
dari sabda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bukan atas dasar logika semata. Semoga Allah menganugerahkan
sifat takwa sehingga bisa menjauhi setiap larangan dan mudah dalam
melakukan kebaikan. Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.SKALA BUMI DAN TATA SURYA
Rasanya Bumi yang kelilingnya
40.000 km ini sangat besar bagi kita. Untuk pergi ke Amerika atau Afrika
saja jauh sekali. Apalagi jika sampai harus ke Antartika.
Tapi coba kita lihat besar Bumi kita dengan ciptaan Allah lainnya.
Ternyata tidak ada apa-apanya. Bahkan bintang yang terbesar pun hanya
satu titik dibanding Galaksi, Cluster, Super Cluster, Jagad Raya.
Tapi di atas semua itu kita harus yakin bahwa Allah pencipta Semesta
Alam jauh lebih besar dari semua itu. Allah Maha Besar!
Ukuran Bumi dibanding Planet Jupiter
Ukuran Bumi dibanding Matahari. Diameter (lebar) matahari 1.391.980
km. Jika bumi “dimasukkan” ke matahari, ada 1,3 juta bumi yang bisa
masuk.
Ukuran Matahari dibanding Bintang Arcturus
Ukuran Matahari dibanding Bintang Antares. Saat ini bumi sudah tidak
bisa dilihat lagi. Diameter Antares 804.672.000 km.
Kalau anda menganggap Antares sudah sangat besar, ternyata bintang
itu masih belum apa-apa dibanding dengan galaksi seperti Galaksi
Bimasakti yang terdiri dari ratusan milyar bintang dengan lebar hingga
100 ribu tahun cahaya (1 detik cahaya=300.000 km).
Galaksi itu pun tidak seberapa jika dibanding dengan Cluster
(Kumpulan) Galaksi yang terdiri dari ribuan Galaksi.
Tapi di atas Cluster masih ada Super Cluster yang terdiri dari ribuan
Cluster. Ribuan Super Cluster akhirnya membentuk jagad raya.
Saat ini diperkirakan Jagad Raya (Universe) lebarnya 30 milyar tahun
cahaya. Tapi ini cuma angka sementara mengingat teleskop tercanggih saat
ini “cuma” bisa mencapai jarak 15 milyar tahun cahaya!
Jika dunia ini begitu luas, maka Allah menegaskan bahwa akhirat itu
lebih baik dan lebih kekal. Jauh lebih luas lagi dari dunia!
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.
Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.” [Al Baqarah 255]
Maha Besar Allah Tuhan Pencipta Alam!
Maka bertasbihlah kepada Allah!
Sumber:
http://syiarislam.wordpress.com/2010/03/12/seberapa-besarkah-bumi-kita-allah-maha-besar
http://www.alphadad.net/Previous%20Alpha%20Dad%20Site/alphadadkids.htm
http://www.bcssa.org/newsroom/scholarships/great8sci/Space/4galaxys.html
http://apod.nasa.gov/apod/ap080210.html
http://www.nasaimages.org/luna/servlet/detail/NVA2~8~8~14669~115210:The-Violent-Lives-of-Galaxies–Caug
AKAL ADA DI HATI
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah ditanya:
Apakah akal itu letaknya ada di dalam otak atau di dalam
Qalbu?
Beliau menjawab :
Alhamdulillah was shalatu was salam ‘ala Rasulillah, amma ba’d:
Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui hal ini. Dialah yang mengetahui
mata-mata yang berkhianat. Dia juga mengetahui yang disembunyikan di
dalam dada, yakni qalbu (jantung), karena qalbu ada di dalam dada. Dan
qalbu adalah tempatnya akal, pemahaman, dan pengaturan, sebagaimana
Allah berfirman:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا
“Tidakkah mereka berjalan di atas muka bumi lalu mereka memiliki qalbu yang memahami ayat Allah dengannya.” [Q.S. Al-Hajj:46]. Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena, yang buta bukanlah mata, tapi yang buta adalah qalbu-qalbu yang ada di dalam dada.” [Q.S. Al-Hajj:46]. Maha Suci Allah, seakan-akan ayat ini turun menurut keadaan manusia saat ini, bahkan juga keadaan manusia dahulu: apakah akal ada di dalam otak atau di qalbu. Masalah ini adalah masalah yang banyak membuat kesulitan para pemikir yang mendasarkan analoginya ini pada sesuatu yang inderawi. Mereka tidak mengembalikan pemecahan masalah ini pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebenarnya, hal ini telah jelas, bahwasanya akal itu ada di qalbu (jantung) dan qalbu letaknya ada di dalam dada.أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا
“Tidakkah mereka berjalan di atas muka bumi lalu mereka memiliki qalbu yang memahami ayat Allah dengannya.” [Q.S. Al-Hajj:46]. Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena, yang buta bukanlah mata, tapi yang buta adalah qalbu-qalbu yang ada di dalam dada.” [Q.S. Al-Hajj:46]. Allah tidak berfirman, “Qalbu yang berada di dalam otak. Masalah ini jelas sekali bahwasanya akal berada di dalam qalbu (jantung). Yang lebih menguatkan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Dan sesungguhnya di dalam jasad ini ada sekerat daging. Jika daging ini baik, maka baiklah seluruh jasad, jika daging ini rusak, rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, daging ini adalah qalbu.” Lalu, kenapa engkau menolak sesuatu yang dipersaksikan oleh Kitab Allah, padahal Allah adalah Maha Pencipta dan Maha Mengetahui segala sesuatu, dan dipersaksikan pula oleh sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yang wajib untuk kita lakukan dalam hal ini adalah kita buang seluruh pendapat yang menyelisihi Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kita jadikan hal itu di bawah kaki kita, tidak kita pedulikan. Karena, . Jika otak telah memproyeksikan suatu gambaran dan mempersiapkannya, dia kirimkan ke qalbu, lalu qalbu yang memerintahkan atau melarang. Seakan-akan, otak merupakan sekertaris, mempersiapkan segala sesuatu lalu memberikannya kepada qalbu, kemudian dia memerintahkan atau melarang. Dan hal ini, bukan merupakan hal yang aneh.وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan di dalam dirimu (terdapat tanda kekuasaan Allah), tidakkah kalian melihat?” [Q.S. Adz-Dzariyat:21]. Di dalam jasad kita ini terdapat perkara-perkara aneh yang membuat bingung akal kita ini. Dan, hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Jika baik daging terssebut, baik pulalah jasad.” Jika bukan karena hak memerintah itu milik qalbu, tidak akan, “Jika daging itu baik, baik pulalah jasad, jika daging itu jelek, jelek pulalah jasad seluruhnya.” Jadi, qalbu merupakan tempatnya akal dan pengatur bagi seseorang. Namun, tidak diragukan bahwa dia memiliki hubungan dengan otak. Karena itu, jika otak rusak, pikiran dan akal juga rusak. Dia memiliki kaitan dengan hal itu, tapi akal yang mengatur ada di dalam qalbu, dan qalbu ada di dalam dada.وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“…tapi yang buta adalah qalbu-qalbu yang ada di dalam dada.” [Q.S. Al-Hajj:46]. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Sumber Syarh Riyadhus Shalihin, jilid 1, Bab Muraqabah. Diterjemahkan dari http://www.sahab.net/home/?p=209 oleh Abu Yusuf Abdurrahman.ADA APA DENGAN PUTRIKU?
Terdapat banyak faktor penyebab
seorang ibu merasa terganggu dengan ulah anak gadisnya. Terkadang
terjadi berbagai perselisihan dan permasalahan antara seorang ibu dan
anak gadisnya dan tidak sedikit sampai pada tingkatan yang tidak baik.
Dan untuk mempermudah setiap gadis dalam menentukan langkah
(memperbaiki) permasalahan ini, serta menjalin hubungan yang harmonis
dengan ibu, maka berikut ini kami paparkan beberapa faktor penyebab
seorang ibu merasa tersakiti hatinya dengan ulah anak gadisnya, dan
wajib wagi seorang anak gadis untuk menjauhinya. Adapun factor-faktor
tersebut adalah:
1. Keras kepala
Terkadang ada seorang anak gadis dengan sengaja bersikap keras kepala
kepada ibunya sendiri, hanya karena ingin menunjukkan kepada ibunya dan
orang-orang sekelilingnya bahwasanya dia adalah seorang anak gadis yang
sudah dewasa dan memiliki kepribadian yang mandiri. Tidak jarang
seorang anak gadis menolak permintaan ibunya untuk melakukan satu hal,
sekalipun hal tersebut bermanfaat. Hal itu dia lakukan semata-mata untuk
menyelisihi orang tuanya. Sehingga merasa bebas, tidak terikat dan
tampil beda serta menunjukkan kalau dia sudah dewasa, tidak mudah diatur
orang lain.
2. Kritis
Terkadang seorang anak gadis ingin berposisi seperti seorang ibu
dengan melontarkan kritik-kritik tajam kepada orang-orang
disekelilingnya. Orang yang pertama kali menjadi sasaran ternyata adalah
ibunya sendiri. Dia mengkritik penampilan ibunya karena dinilai tidak
sesuai dengan model yang sedang tren atau menilai cara bergaul ibunya
dengan orang lain sebagai cara yang tradisional dan tidak modern. Dengan
sikap seperti ini maka anak tersebut telah menjadikan ibunya sebagai
sasaran berbagai tuduhan yang terkadang bisa menyebabkan ibunya merasa
susah dan sedih.
3. Privasi
Dalam usia remaja seorang anak gadis ingin menunjukkan kepada semua
orang bahwa dirinya memiliki privasi dan kemerdekaan. Sehingga tidak
boleh seorangpun campur tangan dalam urusannya. Seorang anak gadis
sering menganggap ibunya sebagai orang yang kekanak-kanakan jika ibu
berusaha untuk mengetahui atau campur tangan dalam urusan pribadinya.
4. Provokatif
Sebagian anak gadis sering memicu berbagai permasalahan semata-mata
untuk memancing emosi orang lain. Sebagai contoh, terkadang sebagian
anak gadis tidak mau mengakui kesalahannya untuk memicu emosi
orang-orang disekelilingnya terutama ibunya sendiri.
5. Kerjasama
Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang dipenuhi suasana mau
bekerja sama di antara anggotanya. Karena kerjasama itu makin mempererat
hubungan dan menutup berbagai jalan yang menyebabkan pecahnya rumah
tangga. Akan tetapi, terkadang ada seorang anak gadis yang menolak untuk
bekerja sama dengan anggota keluarga yang lain. Sikap mau bekerjasama
dalam pandangannya menunjukkan kalau dia belum dewasa. Disamping itu dia
beranggapan bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk ketundukan
terhadap orang lain. Sikap seperti ini tentu menciptakan atmosfir yang
menegangkan antara seorang ibu dengan anak gadisnya.
6. Minder
Banyak ibu yang mendapatkan permasalahan karena sikap anak gadisnya
yang hidup mengucilkan diri karena merasa malu bergaul di lingkungan
luar. Lebih-lebih ketika diajak keluar oleh anggota keluarganya untuk
mengunjungi kerabat. Keterkucilan ini menyebabkan gadis tersebut menjadi
gadis murung yang tidak tertarik dengan segala sesuatu, sekalipun telah
diusahakan untuk menjadikannya ridha.
7. Model pakaian
Sesungguhnya perkara yang banyak menyibukkan perhatian anak gadis
adalah pakaian, keelokan, perhiasan, dan segala sesuatu yang baru. Maka
seorang ibupun merasa susah saat dia mendapati bahwa pikiran anak
gadisnya hanya berkutat pada apa yang dia pakai. Sementara pakaian
pilihannya bertentangan dengan perintah-perintah Islam.
8. Makanan bergizi
Perhatian seorang ibu yang paling dominan adalah kesehatan
putra-putrinya. Oleh karena itu seorang ibu yang baik memiliki perhatian
yang besar dengan makanan yang bergizi. Akan tetapi anda akan
mendapatkan bahwa ada remaja putri yang masa bodoh dengan perhatian ini.
Mereka lebih suka mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang menimbulkan
dampak negatif dari sisi kesehatan dan tidak peduli dengan kecemasan dan
kerisauan ibunya berkaitan dengan kesehatannya.
9. Emosional
Banyak ibu yang merasa terganggu dengan sikap emosional anak
gadisnya. Seorang anak gadis sering bercanda dengan anggota keluarga
yang lain, namun manakala ada sesuatu yang menyakiti hatinya, maka dia
beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sebuah bencana yang besar.
Karenanya dia meluapkan amarah dan emosinya kepada semua anggota
keluarga. Sebagian anak gadis sengaja menimbulkan percekcokan dengan
saudara laki-lakinya sebagai sarana mengungkapkan amarah dan emosi.
10. Menyia-nyiakan waktu luang
Tidak sedikit anak gadis menghabiskan banyak waktunya di depan TV
menonton film, sinetron, acara musik, kontes kecantikan dan berbagai
acara televisi yang tidak bermanfaat dan tidak memiliki tujuan yang
jelas. Acara-acara tersebut sangat tidak baik bagi seorang anak gadis,
sehingga hal ini menyebabkan kesedihan mendalam bagi sang ibu.
Inilah penjelasan ringkas tentang hal-hal yang menimbulkan kesedihan
orang tua terutama ibu. Kami berharap agar setiap anak bisa mengambil
faedah dari artikel ini dan menjauhi segala tindakan yang menyusahkan
orang tua. Yang terbaik tanpa perlu disangsikan lagi adalah taat dan
berbakti kepada orang tua dan ingatlah selalu bahwasanya orang tua
merupakan salah satu jalan menuju surga.
(Sebab-sebab Seorang Ibu yang Merasa Terganggu oleh Ulah Anak
Gadisnya, Majalah Qiblati Edisi 6 Tahun I)
GADIS KECIL ITU…
Aku akan meriwayatkan kepada anda
kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan anda mendengarnya langsung
dari lisan ibunya.
Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:
Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di
dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa.
Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang
sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada
ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku
bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya
aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan
tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi
tersebut.
Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar
seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang
shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga
mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia
masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan
celana panjang di balik rok tersebut.
Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka
Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari
segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke
tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang
gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya,
menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP
mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat
sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada
yang ma’ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.
Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya
pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.
Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:
Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan
seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah
seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu
tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata:
“Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci
piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita
kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24
jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!”
Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap
pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu
tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: “Mama,
aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus
mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam.” Maka akupun
sangat bergembira mendengar kabar baik ini.
Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam
pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia
tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui
permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan
sangat mencintai pamannya tersebut.
Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah
gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang
sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan
kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini?
Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?
Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa
kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia
menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: “Sakit ringan di
kakiku.” Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya
kepadanya, dia menjawab: “Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah.”
Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah
sakit.
Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam
salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan
Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu
seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara
Afnan berbaring di atas ranjang.
Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di
kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan
merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar
ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar
tersebut dia sangat bergembira dan berkata: “Alhamdulillah…
alhamdulillah… alhamdulillah.” Akupun mendekatkan dia di dadaku
sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: “Wahai ummi,
alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku.”
Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua
orang melihat kepadanya dengan tercengang!!
Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini
dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang
yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan
imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan
keislamannya!!
Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada
Allah.
Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya
meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum
rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk
memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia
menolak dan bersikukuh seraya berkata: “Aku tidak ingin terhalangi dari
pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku.”
Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke
Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut
oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di
Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan
melihatnya, dia bertanya kepadanya: “Apakah engkau seorang muslimah?”
Dia menjawab: “Tidak.”
Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke
sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu
ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara
kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa
sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun
mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang
mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.
Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali
mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar
sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama
sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah
perasaan kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui
Messenger. Afnan bertanya kepadanya: “Bagaimana menurut pendapatmu,
apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?” Maka dia
mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk
memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu
kalimat: “Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah
mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan
sempurna.” Temanku tersebut berkata: “Sesungguhnya setelah jawaban
Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun,
seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan
hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti
dia akan mati.”
Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan
tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!
Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di
atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan
menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan
jarum infus.
Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti
orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun
dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu` dan shalat, tanpa
ada seorangpun yang membangunkannya!!
Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak
ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan
meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku
ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.
Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan
berbicara dengannya.
Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa
dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar,
dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir
terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia
tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi
kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku
tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah
Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku
kemudian tersenyum. Dia berkata: “Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan
sebuah mimpi yang telah kulihat.” Kukatakan: “(Mimpi) yang baik Insya
Allah.” Dia berkata: “Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari
pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan
keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia
dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi.”
Akupun bertanya kepadanya:
“Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut.” Dia menjawab:
“Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan
melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia
kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas
perpisahanku.” Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat
aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari
dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.
Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat
itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia
berkata: “Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu.” Maka diapun
menciumku. Kemudian dia berkata: “Aku ingin mencium pipimu yang kedua.”
Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring
di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: “Afnan, ucapkanlah la
ilaaha illallah.”
Maka dia berkata: “Asyhadu alla ilaaha illallah.”
Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: “Asyhadu
allaa ilaaha illallaah.” Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian
dia berkata: “Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan
rasuulullaah.” Dan keluarlah rohnya.
Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma
minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku
takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki
kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium
aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi
rabbil ‘aalamin. (AR)*
Oleh: Ummu Mariah Iman Zuhair
Langganan:
Postingan (Atom)